Puisi: Asmaradana (Karya Goenawan Mohamad)

Puisi "Asmaradana" sarat dengan elemen-elemen alam, perasaan, dan perenungan. Penyair dengan kepiawaiannya menggambarkan keindahan dan kepedihan ...
Asmaradana


Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena
angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika
langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di
antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.


1971

Sumber: Asmaradana (1992)

Analisis Puisi:
Puisi "Asmaradana" karya Goenawan Mohamad adalah karya yang sarat dengan elemen-elemen alam, perasaan, dan perenungan. Penyair dengan kepiawaiannya menggambarkan keindahan dan kepedihan dalam hubungan asmara, mempersembahkan kisah yang bersifat universal.

Sensasi Alam dan Suasana Hati: Puisi ini dibuka dengan penggambaran alam yang menggambarkan suasana hati dan perasaan. Kepak sayap kelelawar, guyuran sisa hujan, dan langkah-langkah kuda menciptakan latar belakang yang hidup dan penuh dengan rasa. Alam di sini tidak hanya menjadi dekorasi, tetapi juga mencerminkan perasaan dan emosi karakter.

Simbolisme Bimasakti: Penyebutan bimasakti sebagai elemen alam menciptakan atmosfer yang memikat dan misterius. Bimasakti bisa diartikan sebagai simbol keabadian atau perjalanan hidup yang panjang dan tak terduga. Pemilihan simbol ini memberikan kedalaman pada puisi dan mendorong pembaca untuk merenung.

Perpisahan dan Kematian: Penyair menggambarkan momen perpisahan dan kematian dengan cara yang lugas. Kata-kata yang digunakan menciptakan nuansa yang terasa pelan dan dalam. Perpisahan dan kematian dilihat sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak dapat dielakkan, dan kehidupan yang terus berlanjut meski dengan tapak yang meninggalkan jejak di rumput halaman.

Peta, Nasib, dan Peperangan: Puisi ini menyinggung elemen-elemen seperti peta, nasib, dan peperangan. Peta dan nasib menjadi simbol perjalanan hidup, sementara peperangan dapat diartikan sebagai konflik dalam hubungan atau pertarungan melawan takdir. Ini menunjukkan bahwa kehidupan tidak selalu lurus dan penuh dengan rintangan.

Perempuan yang Tak Menangis: Sentuhan dramatis muncul ketika penyair menyatakan bahwa perempuan tersebut tidak akan menangis. Hal ini bisa diartikan sebagai ekspresi kekuatan dan keteguhan hati dalam menghadapi perpisahan dan kematian. Keputusan untuk tidak mencatat tapak yang menjauh dan yang akan tiba menciptakan citra ketakutan akan kenangan yang terlalu menyakitkan.

Anjasmara, Abai, dan Kepelancongan Waktu: Penutup puisi mengandung permintaan kepada "Anjasmara" untuk tetap tinggal, memberikan kesan abai terhadap waktu dan kehidupan yang terus berjalan. Bulan yang lamban dan kunang-kunang yang abai menciptakan gambaran tentang kepelancongan waktu yang membuatmu melupakan wajah penyair dan wajahmu sendiri.

Puisi "Asmaradana" adalah puisi yang menghadirkan kombinasi harmonis antara keindahan alam, perasaan manusia, dan meditasi atas hidup dan mati. Goenawan Mohamad dengan mahirnya menggunakan bahasa yang puitis dan padu menciptakan karya yang menggugah untuk merenung tentang perjalanan hidup dan asmara yang tak pernah lekang oleh waktu.

Puisi Goenawan Mohamad
Puisi: Asmaradana
Karya: Goenawan Mohamad

Biodata Goenawan Mohamad:
  • Goenawan Mohamad (nama lengkapnya Goenawan Soesatyo Mohamad) lahir pada tanggal 29 Juli 1941 di Batang, Jawa Tengah.
  • Goenawan Mohamad adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.