Puisi: Surah Penghujan (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi "Surah Penghujan" karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah karya sastra yang dalam dan penuh dengan refleksi tentang alam, waktu, perubahan, ...
Surah Penghujan
Credo quia absurdum
(Tertullianus)

(Ayat 1)


Musim harus berganti musim; agar langit menjadi biru untuk kemudian kelabu; agar air menguap untuk kemudian membeku; agar pohon tumbuh untuk kemudian rubuh; agar akar menyerap air untuk dikirim ke tunas daun untuk kemudian gugur; agar lebah menyilangkan putik dan benang sari untuk kemudian layu; agar rumput meriap untuk kemudian kering; agar telur menetas dan burung terbang untuk kemudian patah sayapnya; agar hari bergeser dari minggu ke sabtu; agar kau mengingat untuk kemudian melupakan-Ku.

Agar kau tahu bahwa Aku melaksanakan kehendak-Ku.
Agar kau sadar bahwa Aku memenuhi janji-Ku.

Agar kau senantiasa bertanya kenapa musim harus berganti musim; agar langit menjadi biru untuk kemudian kelabu; agar air menguap untuk kemudian membeku; agar pohon tumbuh untuk kemudian roboh; agar akar menyerap air untuk dikirim ke tunas daun untuk kemudian gugur; agar lebah menyilangkan putik dan benang sari untuk kemudian layu; agar rumput meriap untuk kemudian kering; agar telur menetas dan burung terbang untuk kemudian patah sayapnya; agar lahar mengeras menjadi batu; agar kau mengingat untuk kemudian melupakan-Ku.


(Ayat 2)


Agar tidak hanya kemarau yang meretas di tenggorokanmu; agar bergetar sabda air di pita suaramu; agar tidak hanya kemarau yang di tenggorokanmu.

Agar bergetar sabda air di pita suaramu.


(Ayat 3)


Kau menggumam ketika bangun hari ini, Aku mendengarmu bercakap kepada batu itu, yang buta, yang semakin mengeras ketika berusaha menangkap kata-katamu. Aku mendengarmu bercakap kepada batu itu tanpa menggunakan kosa-kata-Ku; ketika hari tiba dan mengambil segala yang kauyakini milikmu; kau memang tak merasa perlu tahu bahwa Aku bukan bagianmu, bukan milikmu, Sayang-Ku kau merindukan kemarau yang setia mengeringkan air matamu; tapi sekarang hanya genangan air melepuh di bawah kulitmu.


(Ayat 4)


Selesailah sudah tugas kemarau dan masih saja kau menolak pemandangan itu: di sebelah sana mulai terdengar ricik air agak ke sana lagi gejolak air lebih ke sana lagi - tetapi aku bukan bagian pemandangan itu katamu. Mulailah tugas penghujan menampar pipimu agar menyadari bahwa kau tak akan terpisah dari air dan tanah. Mulailah tugas penghujan menguliti batok kepalamu dan mengaduk otakmu agar kau menyadari bahwa ada yang telah selesai... bahwa ada yang harus selesai.

Selesailah sudah tugas kemarau tetapi di mana pula aku bisa menghayati air yang dulu menetes dari bulu mataku dan kau mengusap matamu; ketika butir air yang lain jatuh ke kakimu; ketika butir air yang lain ditampung genangan itu; ketika butir air yang lain gaib di selokan itu.


(Ayat 5)


Ketika kau menengadahkan kepalamu kata hangus; Kulihat kau meniti bekas-bekas tapak kaki yang tak sempat dihalau penghujan.

Biarlah kata hangus, bagai pokok kayu yang menjadi arang yang mengingatkanku pada kemarau, katamu - tidak kepada-Ku.


(Ayat 6)


Hari tergelincir di sela-sela jari tanganmu, menetes ke ujung kakimu, tak sempat tercecap lidahmu. Hari menetes-netes dari ujung jari tanganmu, waktu kauraih jaket tua itu, Kudengar helaan napasmu.

Hari tidak pernah menafsirkan dirinya sebagai kemarau atau penghujan, meluncur lewat bulu-bulu pelupuk matamu. Hari tak mengenal segala yang kaubayangkan ketika kau meregang terlepas dari gelepar kemarau. Hari tak pernah membicarakan maksudnya denganmu.

Hari, sayang sekali, hanya mengenal bahasa-Ku.


(Ayat 7)


Kau menyusup ke bawah reruntuk sebuah negeri yang kaukira tak terjangkau maut: lihat, di sini tak ada doa dan harapan yang menjadi becek oleh penghujan, lalu kaupejamkan matamu agar nyala api tetap menerangi tanah bayangan itu - di luar semesta-Ku.

Kau berjalan di reruntuk sebuah negeri matahari dan mengandaikan dirimu tegak menciptakan bayang-bayang panjang.


(Ayat 8)


Tubuhmu menggeliat dalam bau tanah nafasmu; dalam aroma langit pagi yang basah; tubuhmu tidak menggeliat dalam-Ku.

Matamu menerobos jaring penghujan telingamu; dalam risik bumi yang kuyup; rohmu tidak menembus jaring-Ku.


(Ayat 9)


Butir air yang hampir jatuh dari ujung daun tak membayangkan dirinya air matamu; ia pun menetes ke tanah becek - sejak itu kau tak pernah lagi melihatnya; sejak saat itu ia menjadi inti kerinduanmu: semoga nanti ia menjadi awan putih yang suka menghalangi matahari di musim kemarau, ujarmu.

Dan Kusaksikan lautan bergolak dalam manik matamu; tidak menyaksikan-Ku yang sedang menyaksikanmu.


(Ayat 10)


Penghujan menjelma musik tanah menyerbu pori-porimu ketika kau membayangkan suatu hari yang gerah; tanpa sama sekali membayangkan-Ku yang memang tidak sedang membayangkanmu; sebab Aku menyaksikanmu ketika penghujan menjelma musik tanah dan menyerbu pori-pori dan menggelembung di bawah kulit sekujur tubuhmu dan Aku menyaksikanmu bertahan terhadap penghujan yang bertanya kepada tanah basah di mana
gerangan musikmu? Dan Aku menyaksikan tanah basah menumpahkan musik sambil mendengarkan-Ku.

Ada yang bersikeras untuk tidak menjelma Aku.


(Ayat 11)


Kautatap nyala api di tungku: apakah kau akan 
dipadamkan penghujan; 
apakah Kau akan menutup pelupuk mata-Mu dan 
meninggalkanku menggigil, sendiri? A
pi tak pernah berpura-pura bisa menembus kata yang 
diluncurkan penghujan.

Api, seperti ajal, tak ingin padam dan tak hendak 
membakar-Ku.


(Ayat 12)


Penghujan mencari ujung akar dan melesat ke daun-
daun yang mengganggu pandanganmu; 
dan ia terus mencari ujung akar; 
Aku menyaksikannya menaklukkan urat pohon itu dan 
menggoyang-goyangnya dan menekuknya dan 
merubuhkannya dan sesudah itu menatapmu dengan penuh 
kasih sayang dan katanya kenapa kau masih saja 
merindukannya? Dan Aku menyaksikannya menyerbu ke 
dalam kenanganmu yang terletak jauh di lereng kemarau.

Dan Aku menyaksikanmu memegang dada kirimu.


(Ayat 13)


Saat ini Kusaksikan kau menggeliat dan berangkat dan bergumam ini November dan penghujan akan segera memaksaku menyalakan api dan Kusaksikan November menyentuhkan punggung tangannya ke ranting pohon yang kautanam di luar pagar rumahmu dan menjenguk lewat jendela kamarmu yang rendah dan ia tampak gemetar karena rindu yang tak mungkin dipahami siapa pun.

Dan Kusaksikan November menatap-Ku dan tidak tahan menatapmu.


(Ayat 14)


Lorong terendam air semalaman dan Kudengar kau 
tiba-tiba berkata semoga jauh di bawahnya ajal tenggelam dan 
kau merasa puas dengan katamu sendiri dan Kudengar kau 
diam-diam mengutuk musim yang menyebabkanmu selalu 
menggulung ujung celana ketika menyeberang ke sana; 
kaukenakan mantel agar tubuhmu kembali hangat 
tetapi yang merayap adalah geludug dan kilau kilat.

Hujan seperti deretan lilin yang digoyang angin.

Angin tidak pernah terendam air seperti lorong yang 
harus kaulalui setiap kali kau menyeberang hujan.

Nyala lilin seperti hujan.


(Ayat 15)


Dalam kubah yang perak bergema penghujan 
sepanjang lorong kau tak mendengar-Ku dan 
penghujan mendengar-Ku, tidak dalam dirimu 
dari puncak kubah yang perak Aku menyaksikanmu 
menatap penghujan yang bertahan mendengar-Ku.

Di atas kubah yang perak semakin deras penghujan-
Ku.


(Ayat 16)


Kau ingin menyaksikan kertap ujung cahaya 
menembus kabut menyalakan matamu agar bisa 
menyaksikan sebuah negeri yang kauterka abadi dalam 
dirimu.

Kausepakat untuk tinggal di sana agar tak kaudengar 
lagi nyanyian angsa yang serak, tidak untuk-Ku.

Agar tak kaudengar lagi siut kabut yang mengejekmu, 
Pak Tua, apa yang kaudengar dalam hujan? Sambil terus 
menjelma butir-butir air agar nyanyinya mencapai tanah 
basah.


(Ayat 17)


Nasibmu: angkasa basah yang dalam tempatmu 
terkubur - tak perlu kaubayangkan upacara itu; 
kau tidak sekarat hanya sedikit menggigil ketika 
membetulkan letak topimu; 
kau hanya meriang mengenang daun gugur yang 
tersangkut di ranting kering sementara menyiulkan sebuah 
lagu yang dulu pernah diajarkan ibumu; 
kau hanya tak bisa dan tak akan bisa lagi 
menghentikan suara desis helaan napasmu ketika kau 
meriang; ketika kau menggigil.

Dongeng tentangmu datang dari negeri kabut: di 
seberang gunung: di balik mantel tua gemeletuk sendi-sendi 
yang lelah yang urat-uratnya telah putus.

Nasibmu: penghujan yang tak berdaya menghapus 
nyeri tulang-tulangmu.

Dan tak ada lagi daun gugur yang tersangkut ranting 
kering ketika kau membetulkan ikatan tali sepatumu.


(Ayat 18)


Kau memberanikan diri untuk tidak mencari-Ku di 
antara suara-suara yang kaukatakan tak pernah ada; di antara 
gelombang angin yang menjadi merah dalam genggaman 
penghujan yang mungkin mengejekmu Tuan sedang 
mendengarkan apa kalau bukan suara air? Dan Kusaksikan kau 
menyilangkan jari-jarimu; 
dan Kusaksikan kau menyilangkan jari-jarimu; 
dan Kusaksikan kau memberanikan diri untuk tidak 
mencari-Ku di antara helaan nafasmu; 
dan Kusaksikan kau menyilangkan jari-jarimu.

Dan suara air dengan tajam menatapmu; 
dan suara air menunduk sehabis menatap-Ku.

Dan Kusaksikan kau menyilangkan jari-jarimu.


(Ayat 19)


Air hujan menetes di kepalamu ketika Kusaksikan kau 
mondar-mandir di kamarmu yang bocor dan bersikukuh 
untuk tidak mengigau tentang kemarau yang abunya lesap 
di air dan dihela akar pohon yang dulu kautanam di 
pekarangan rumah 
dan Aku mendengarmu.

Jika hari ini harus selesai juga apakah masih ada waktu 
untuk diam-diam masuk ke warung itu pada suatu malam 
kemarau dan menghisap bibir perempuan penjual rokok yang 
menurut ramalan akan tewas di ujung keris sang bupati.

Dan hujan menetes di kepalamu pertanda bahwa kemarau 
yang dulu itu telah menjadi abu.


(Ayat 20)


(Dan kau berdiri di samping tiang listrik yang 
lampunya menyala semalaman 
dan Aku menyaksikan bayang-bayang mendekat 
untuk menjauh lagi dari dirimu 
dan kau ingin melanjutkan perjalanan tetapi bayang-bayang 
itu memaksamu berdiri saja di sebelah tiang listrik 
dan Aku menyaksikan bayang-bayangmu berebut 
dengan bayang-bayang air untuk melekat pada rohmu 
dan tidak pernah ada bayang-bayang-Ku ketika lampu 
tiang listrik menyala semalaman)

Dan tidak pernah ada bayang-bayang lampu itu dalam 
dirimu; 
kau hanya mencintai kemarau sebagai kemarau; kau 
membayangkan kemarau bisa mengeringkan bekas luka-
luka dan kau tidak mencintai penghujan hanya karena suka 
menjelma tanah hanya karena kau tak menginginkannya 
mengaburkan pandanganmu.

Hanya karena kau tak mengharapkan Aku bertaburan 
dalam sukmamu.


(Ayat 21)


Bahkan ketika gerimis bertiup kau merasa gerah dan 
bertanya apakah memang harus ada yang tidak kembali lagi; 
bahkan ketika ada yang mengalir di sela-sela jari 
kakimu kau merasa berada dalam sebutir batu; 
bahkan ketika Kutatap batu itu kau merasa gerah 
berada di dalamnya meskipun gerimis bertiup dan air 
mengalir di sela-sela jari kakimu; 
bahkan ketika batu menatap-Ku kau tetap berusaha 
melepaskan diri dari dalam keheningan sebutir batu.


(Ayat 22)


Dan jauh di dalam pokok pohon pedang yang 
mengkilat menebas luka purba; dan jauh di dalam pokok 
pohon kaudengar suara angin basah yang mendadak 
terbelah pedang; dan jauh di dalam pokok pohon luka 
purba tampak menganga bagai mawar; dan jauh di pokok
pohon yang tiba-tiba bergetar mawar itu ditebas pedang 
yang gerak-geriknya menyilaukan; dan jauh ke dalam pokok 
pohon kau pun terserap; 
dan jauh di dalam pokok pohon Kusaksikan kau 
sesekali menggelepar; 
dan jauh di pokok pohon berkelebat pedang purba itu.

Dan jauh di pokok pohon kau terkesiap melihat 
kilatan luka mawar.


(Ayat 23)


Tanganmu terjulur dan menyentuh tepi penghujan 
ketika kau membayangkan berada di sebuah dermaga: kapal 
itu oleng, merapat padamu - sukmamu menerobos tabir 
yang jatuh di laut 
dermaga sudah sejak lama menunggu: ada yang oleng 
merapat padamu 
hari ini penghujan: titik air bagai tabir kau ingin sekali 
mendengar perintah si kapten tua untuk menunda berlabuh.

Aku menyaksikan pementasan yang sia-sia.


(Ayat 24)


Musim harus berganti musim agar langit bergeser dari 
kelabu ke biru; agar air jadi kabut dan mendaki lereng; agar 
pohon busuk menjadi pupuk pohon yang baru; agar daun 
meneteskan butir embun untuk diserap akar; agar bunga 
layu kembali menguncup menawarkan madu; agar rumput 
menunggu tukang kebun; agar telur menetas dan burung 
terbang dan hari bergeser dan batu berguling ke lembah; 
agar kau melupakan untuk kembali mengingat-Ku 
dan kau menyalakan api.

Dan Aku telah melaksanakan kehendak-Ku.


Sumber: Melipat Jarak (2015)

Analisis Puisi:
Puisi "Surah Penghujan" karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah karya sastra yang dalam dan penuh dengan refleksi tentang alam, waktu, perubahan, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Puisi ini memiliki gaya bahasa yang kuat dan membangkitkan berbagai makna mendalam.

Struktur Puisi: Puisi ini terdiri dari 24 ayat. Penyusunan ayat-ayat ini memberikan kesan seperti rangkaian pemikiran dan meditasi yang terus berkembang sepanjang puisi.

Tema Utama: Tema utama dalam puisi ini adalah perubahan alam dan manusia yang disajikan melalui penggambaran musim, hujan, pengeringan, dan pergantian waktu. Selain itu, puisi ini juga mengeksplorasi tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, kehendak-Nya, dan perenungan manusia terhadap keberadaan-Nya.

Perubahan dan Waktu: Puisi ini menggambarkan perubahan yang terjadi dalam alam dan bagaimana manusia merenungkan arti dari perubahan tersebut. Penyajian perubahan musim dari biru ke kelabu, air menguap menjadi beku, pohon tumbuh dan roboh, daun yang gugur, dan lainnya, menggambarkan sifat siklus alam dan waktu yang tak terelakkan.

Pengaruh Alam pada Manusia: Puisi ini menggambarkan bagaimana alam dan musim mempengaruhi manusia secara fisik dan emosional. Misalnya, penghujan yang berhubungan dengan perasaan gerah dan dingin, serta keterkaitan penghujan dengan berbagai emosi dan perasaan manusia.

Hubungan dengan Tuhan: Puisi ini merujuk pada kehendak Tuhan dan peran-Nya dalam menciptakan dan mengatur alam serta perubahan yang terjadi. Ayat-ayat yang menyinggung tentang Tuhan dan kehendak-Nya menciptakan kesadaran akan keterkaitan manusia dengan Tuhan, dan bahwa semua perubahan yang terjadi adalah bagian dari rencana-Nya.

Kontras Antara Penghujan dan Kemarau: Puisi ini menyajikan kontras antara penghujan dan kemarau sebagai metafora dari kontras dalam hidup manusia. Penghujan diartikan sebagai kehadiran Tuhan atau kebaikan dalam hidup manusia, sedangkan kemarau adalah masa sulit yang menunjukkan keterasingan manusia dari Tuhan.

Bahasa dan Gaya: Sapardi Djoko Damono menggunakan bahasa yang kuat dan imaji yang kaya untuk menggambarkan perubahan alam dan perenungan manusia. Pengulangan frasa-frasa seperti "agar kau mengingat untuk kemudian melupakan-Ku" menegaskan pesan dan refleksi yang diinginkan penyair.

Puisi "Surah Penghujan" karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah puisi yang penuh makna dan mendalam, mengajak pembaca untuk merenungkan tentang alam, waktu, perubahan, dan hubungan dengan Tuhan. Dengan penggambaran yang indah dan penuh refleksi, puisi ini mengundang kita untuk merenungkan hakikat keberadaan dan rencana Tuhan dalam alur perubahan kehidupan.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Surah Penghujan
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.