Puisi: Demi Orang-Orang Rangkasbitung (Karya W.S. Rendra)

Puisi "Demi Orang-Orang Rangkasbitung" menggugah kesadaran terhadap ketidakadilan, penindasan, dan kepentingan politik yang merugikan di masa ...
Demi Orang-Orang Rangkasbitung

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
salam sejahtera!
Nama saya Multatuli
datang dari masa lalu.
Dahulu abdi Kerajaan Belanda,
ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa.

Demi kepentingan penjajahan,
Kerajaan Belanda bersekutu dengan kejahatan ini.
Sia-sia saya mencegahnya.
Kalah dan tidak berdaya.

Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman
di wajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.

Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet
di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
ketika kami memerintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan
orang-orang Java
yang mencoba mempertahankan
kedaulatan mereka!
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.

Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dahulu
juga mempunyai keluh kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di zaman penjajahan oleh Spanyol.
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi sekarang apakah mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu?

Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah bisa tuntas
dalam menangani keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan
keadaannya.
Kita tidak bisa seimbang
dalam menciptakan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita.
Memang kita telah bisa berpikir
lebih canggih dan kompleks,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibanding dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.

Bukankah keadaan keadilan di sini
belum lebih baik dari zaman penjajahan?
Dahulu rakyat Rangkasbitung
tidak mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini?
Dahulu
Adipati Lebak bisa lolos dari hukum.
Sekarang
Adipati-adipati yang kejam dan serakah
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga
sudah merdeka?
Apakah bangsa tanpa hak hukum
bisa disebut bangsa merdeka?

Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang democratie
kepada para putranya.
Tetapi dari kolam renang
dengan sangat santai dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telefoon
untuk memberikan dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa
mereka sendiri.

Oh! Ya, Tuhan!
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
Saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
negara-negara maju memberikan
bantuan ekonomi.
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia berkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.

Barangkali kehadiran saya sekarang
mulai tidak mengenakkan suasana?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda
oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidakadilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
kita sama-sama memahami sejarah.
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang
dan dibakar.
Juga bukan benteng yang bisa
dihancurleburkan.
Saya Multatuli:
sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
Oleh karena itu
saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevan lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
Ialah: hadir dan mengalir.

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terima kasih.

Bojong Gede, 5 November 1990

Sumber: Orang-Orang Rangkasbitung (1993)

Analisis Puisi:

Puisi "Demi Orang-Orang Rangkasbitung" karya W.S. Rendra adalah sebuah kritik sosial yang menggugah kesadaran terhadap ketidakadilan, penindasan, dan kepentingan politik yang merugikan di masa kolonial dan pasca-kolonial.

Latar Belakang Sejarah: Puisi ini diawali dengan pengenalan diri sang penyair sebagai Multatuli, yang merupakan pseudonim dari Eduard Douwes Dekker, seorang penulis dan aktivis Belanda yang menulis buku "Max Havelaar", yang menggambarkan penindasan terhadap rakyat di Rangkasbitung, Lebak, pada masa penjajahan Belanda. Puisi ini mencerminkan perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan yang dialami rakyat di bawah pemerintahan kolonial.

Kritik terhadap Penindasan Kolonial: Rendra menyoroti penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Rangkasbitung. Dia menggambarkan bagaimana rakyat kecil dan petani diperlakukan secara tidak adil dan diabaikan hak-haknya, sementara para pejabat kolonial dan penguasa lokal memperkaya diri mereka sendiri.

Pembangkit Kesadaran Kemanusiaan: Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan hak asasi manusia, keadilan, dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Rendra menegaskan bahwa keadilan dan kemanusiaan harus didasarkan pada nilai-nilai moral yang universal, bukan hanya pada kepentingan politik atau ekonomi semata.

Kritik terhadap Kehypokritan: Rendra juga mengkritik hipokrisi dan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat modern, di mana nilai-nilai moral sering kali dikorbankan demi keuntungan pribadi atau kepentingan politik. Dia menyoroti bagaimana pemimpin dan penguasa negara maju seringkali mengabaikan keadilan dan hak asasi manusia dalam hubungan internasional.

Tantangan untuk Aksi dan Perubahan: Meskipun puisi ini mencerminkan keadaan yang suram, Rendra juga menyiratkan harapan akan perubahan dan keadilan. Dia menyerukan untuk bertindak dan berjuang melawan penindasan, ketidakadilan, dan korupsi, serta memperjuangkan hak asasi manusia dan kebebasan yang lebih besar bagi semua orang.

Puisi "Demi Orang-Orang Rangkasbitung" adalah sebuah panggilan untuk keadilan dan kemanusiaan, serta sebuah peringatan akan bahaya dari penindasan dan kepentingan politik yang tidak bermoral. Melalui kritik sosialnya yang tajam dan penuh semangat, Rendra mengajak kita untuk berdiri bersama dalam perjuangan untuk keadilan dan martabat manusia.

Puisi W.S. Rendra
Puisi: Demi Orang-Orang Rangkasbitung
Karya: W.S. Rendra

Biodata W.S. Rendra:
  • W.S. Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
  • W.S. Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 (pada usia 73 tahun) di Depok, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.