Puisi: Lonceng Tinju (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Lonceng Tinju" karya Taufiq Ismail menggambarkan suatu suasana pertarungan atau perkelahian.
Lonceng Tinju


Setiap kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian

Setiap lonceng berklenengan
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”

Kini lagi, bel itu berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian.


1987

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Lonceng Tinju" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan suatu suasana pertarungan atau perkelahian.

Perasaan Kehilangan Diri: Puisi ini menggambarkan perasaan kebingungan dan ketidakpastian, di mana pembicara merasa "sendirian" dan "tersudut." Lonceng yang berdenting dan tinju yang berlayangan menciptakan gambaran kekacauan dan ketidakpastian dalam suasana pertarungan. Pembaca dapat merasakan ketegangan dan perasaan terjebak yang dialami oleh pembicara.

Perbandingan dengan Ayam dan Hewan: Dalam puisi ini, terdapat perbandingan antara pertarungan manusia dengan pertarungan ayam dan hewan. Nenek pembicara pernah memberikan nasihat agar tidak mengadu ayam, dan gurunya di sekolah kedokteran hewan menasihati agar tidak mengadu hewan. Perbandingan ini menunjukkan bahwa pertarungan manusia yang digambarkan dalam puisi ini mungkin dipandang sebagai sesuatu yang kurang bermoral atau tidak etis.

Kesendirian dan Kepasifan: Pembicara merasa "sendirian" dan "bisu" dalam situasi pertarungan ini. Ini mencerminkan perasaan ketidakmampuan atau kebingungan. Pembicara mungkin merasa terpencil dan tidak memiliki kemampuan atau daya untuk turut serta dalam pertarungan ini, atau bahkan merasa tidak setuju dengan pertarungan tersebut.

Makna dalam Konteks yang Lebih Besar: Puisi ini mungkin bisa diinterpretasikan sebagai kritik terhadap kekerasan atau perkelahian dalam masyarakat. Dengan merujuk pada nasihat nenek dan guru, pembicara mungkin ingin menggarisbawahi pentingnya penolakan terhadap kekerasan, baik dalam bentuk pertarungan manusia maupun dalam bentuk perlakuan terhadap hewan. Selain itu, puisi ini juga dapat menggambarkan perasaan ketidakpastian dan kesendirian dalam menghadapi situasi yang sulit.

Penekanan pada Bunyi: Puisi ini memiliki elemen-elemen bunyi yang kuat, seperti "lonceng berkleneng" dan "tinju mulai berlayangan." Ini menciptakan ritme dalam puisi dan menambahkan dimensi kekacauan dan kebingungan dalam suasana pertarungan.

Puisi "Lonceng Tinju" menciptakan gambaran yang kuat tentang suasana pertarungan dan perasaan ketidakpastian serta kesendirian yang dialami oleh pembicara. Melalui perbandingan dengan pertarungan ayam dan hewan serta nasihat yang diberikan oleh nenek dan guru, puisi ini dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap kekerasan dan pentingnya menolaknya dalam masyarakat.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Lonceng Tinju
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.