Puisi: Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri" karya Taufiq Ismail adalah sebuah refleksi mendalam tentang kematian, kehidupan, dan eksistensi manusia.
Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri (1)
(Dengan sepenuh hormat dan cinta
pada ibunda dan ayahanda
yang tak jemu tak pernah luput
mengingatkan kami makna el-maut)


Matahari sembilan Zulhijjah
Tinggal setengah hasta di atas padang Arafah
Sempurna bulatnya, berwarna merah
Terdengarlah olehmu doa terakhir itu
Diucapkan menjelang matahari terbenam
Dibacakan oleh dua juta jamaah
Diratapkan oleh mayat-mayat ini
Dua juta mayat yang tegak, yang duduk, yang tiarap
Apalagi beda antara doa dan ratap
Terasakan olehmu batas waktu yang gawat
Antara detik kau mengenakan sendiri kain kafan
Sampai mikro-detik menating diri sendiri ke lubang kuburan
Dua juta mayat
Di depan dua juta kuburan
Dalam ribuan saf yang amat teratur membelintang
Antara Arafah dan Muzdalifah
Aku membungkuk sedikit
Mengintip kuburku
Apa jenis tanahku
Apakah tanah khatulistiwa
Mungkinkah tanah sub-tropika
Di lingir kuburku, dua liter pasir Arafah
Mencucur kedalamnya
Mengepulkan debu yang amat tipisnya
Kucoba kini merenungkan soal strategi kubur
Kucernakan masalah unsur struktur kubur
Tiba-tiba kain ihramku meluncur
Turun dari pundak
Kuletakkan balik, dengan hati-hati
Kuintip kubur isteriku
Sekilas tampak tepinya
Sekilas hilang bentuknya
Terbayang pula kubur kedua orang tuaku
Aku menghambur
Sebuah dinding tembus cahaya
Menghadangku
Kepala dan lututku membenturnya
Aku termangu
Wahai, di dinding itu tergurat sebuah maklumat:
Setiap mayat mengurus kuburnya sendiri-sendiri
Setiap mayat masuk ke kuburnya sendiri-sendiri
Wahai
Aku mencangkung, kaku dan canggung
Kupandang tanah kapling bahagianku
Dua kali satu meter persegi
Dua papan nisan, jelas mengeja namaku
Taufiq bin Abdul Gaffar Ismail
Papannya surian, pinggirnya digergaji agak kasar
Belum sempat diamplas supaya halus sedikit
Tanah itu bergoyang
Nampak semacam ada gelombang
Bergaris-garis tipis macam gerakan air di pasir
Mungkinkah kuburku di dasar lautan?
Di dalam sana, sama gelapnya, berbeda sedikit lembabnya
Tak jelas berapa hasta dalamnya
Dingin, sempit dan pengap
Tanpa peta situasi ventilasi
Dan cacah jiwa sejuta serangga
Serta lalu-lintas reptilia bawah tanah
Yang akan mencengkeram seluruh lahiriahku
Dan menyelenggarakan total penghancuran
Dengan kawanan bakteri pembusukan.


Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri (2)


Di  bawah kemah di Arafah
Diterjang panas 50 derajat
Hamba letakkan tulang-belulang hamba
Sejajar sumbu bumi
Hamba terbaring
Mayat hamba terbaring
Ini sebuah simulasi
Inilah inventarisasi
Menjelang pengembalian segala barang pinjaman
Kepada Yang Maha Empunya
Semua benda yang sempat hamba akumulasi
Selama X tahun: barang-barang bergerak
barang-barang tak bergerak
surat-surat dunia, dokumen-dokumen fana, bangunan, ideologi
isteri, anak, cucu, ilmu, puisi, budaya
Ternyata mereka
Bukan milik hamba
Mereka  bergerak serentak
Tapi tepat di tepi kubur ini
Mereka semua berhenti
Hamba kembalikan gumpalan protein
Air dan garam ini
Pada Dikau, Yang Maha Empunya
Mudah-mudahan masih utuh amanat-Mu ini, Ya Razzaq
Empat ratus tulang-belulang, tiga belas persendian utamanya
Enam ratus otot daging yang telah bertugas sempurna
Bergerak di bawah matahari, bulan, gemintang dan kegelapan
Seperangkat urat syaraf, susunan darah dan pencernaan
Yang cara kerjanya demikian fantastik
Sesudah X tahun lamanya kupinjam adi-komputer
Hadiah Dikau ini, Ya Rabbi
Sepuluh ribu juta neuron dalam otak yang Dikau pinjamkan ini
Dengan sinyal-sinyal pikiran sekencang 400 kilometer per jam
Wahai. Betapa sayang Dikau pada tanah liat bergaram
Hamba, khalifah-Mu ini
Yang Dikau hadiahi cerdas dan ilmu
Tapi ini semuanya pinjaman hanya
Bagaimana cara hamba mengembalikannya
Hamba malu
Hamba malu ...


Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri (3)


Badanku gratis zat asam di udara gratis
Air banyak, makanan tak sukar dalam ikhtiar
Dengan apa hamba kembalikan
Imbalan sifat Rahman dan Rahim Dikau
Berbuat baik di dunia?
Betapa rumit dan ruwetnya
Betapa sulit menyisihkan tempo
Menggesekkan kening 6 detik di atas bumi Dikau
Menyelinapkannya tiap hari di antara 86.400 detik hadiah Dikau
Yang Dikau bagi rata, tiada tanpa
Sejak dari sahaya sampai kepada raja
Dan bila habis bahagian hamba
Dan bila regangan akhir akan disentakkan
Dan bila hijab mulai disibakkan
Tak sempat lagi meninjau inventarisasi
Semua benda yang diakumulasi
Mudah-mudahan semuanya sudah rapi
Karena hanya Yaasin yang terdengar kini
Dan isteriku yang mulai merah matanya
Dan cucu-cucuku yang duduk tegak termangu
Dan anakku yang membuka lipatan kafan
Ya Muqallibal Qulub, jangan palingkan hati hamba
Hamba kembali pada Dikau dalam keadaan tumpas
Fakir dan fana
Seluruh barang pinjaman hamba kembalikan
Mudah-mudahan semuanya utuh
Rasa ikhtiar hamba memelihara titipanmu, sudah pada
Kalaulah ada bahagian dari lempung bergaram ini susut
Di tulang kapur yang gugur
Di bawah kulit banyak lemak yang membiak
Dan inilah tumpukan bukit dosaku
Laporan makar dan rahasia syahwatku
Tak dapat aku sembunyikan dari pandangan-Mu, Ya Bashir
Akan kau apakan hamba, Ya Ghafur
Bukankah ubun-ubunku sudah sejak dulu
Dalam genggaman Dikau, Ya Malik
Dan bila tiba saat itu
Betapa sakit tak terperi tenggorokanku
Ketika pahit menyeluruh dalam mulut
Pada saat ranting-ranting runcing berduri itu
Pelan-pelan dicabut
Lewat saluran pernafasan
Maka tataplah mataku
Aku tak melihatmu lagi
Karena yang kupandang kini
Adalah
Dunia
Sana.


1986

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri" karya Taufiq Ismail adalah sebuah refleksi mendalam tentang kematian, kehidupan, dan eksistensi manusia. Puisi ini menggambarkan perjalanan spiritual dan kontemplatif seorang individu menuju pemahaman tentang kematian dan kembali kepada pencipta.

Bagian Pertama: Pengamatan Kubur dan Mayat
Puisi ini dimulai dengan pengamatan tentang perjalanan ziarah di Makkah, terutama di Arafah, tempat jutaan jamaah berkumpul dalam ibadah. Penyair merenungkan keberadaan dan perasaan para mayat yang dihadapkan pada doa terakhir yang diucapkan oleh jamaah, dan betapa doa dan ratap tampaknya tidak jauh berbeda di tengah kerumunan.

Bagian Kedua: Refleksi Pribadi dan Kehidupan Pasca Kematian
Penyair beralih pada refleksi pribadi tentang kuburannya sendiri. Ia merenungkan tentang bagaimana tubuh dan jiwa akan menghadapi kematian dan kuburan. Penyair merasa terkejut dengan realitas bahwa setiap individu harus mengurus kuburnya sendiri dan masuk ke dalamnya sendiri. Hal ini merujuk pada proses personal dan spiritual yang tidak bisa dialihkan kepada orang lain.

Bagian Ketiga: Pengembalian Segala Pinjaman
Puisi ini mengangkat tema pemahaman bahwa kehidupan adalah pinjaman dari Allah, dan segala hal yang ada di dunia ini tidak lain adalah barang pinjaman yang harus dikembalikan. Penyair merenungkan kembali segala hal yang pernah dimilikinya dalam hidup - benda, hubungan, ilmu, budaya, dan lain-lain - dan menyadari bahwa semuanya adalah pinjaman yang akan dikembalikan pada Sang Pemilik.

Kembali Kepada Pencipta: Penyair merenungkan proses kematian dan bagaimana segala unsur tubuh dan jiwa akan kembali kepada Allah. Penyair merasa malu bahwa segala yang pernah dimiliki dan diakumulasikan selama hidup hanyalah pinjaman dan sekarang harus dikembalikan. Penyair mengungkapkan perasaan takut akan akhirat dan pengharapan bahwa semuanya telah disiapkan dengan baik.

Keheningan dan Akhir Kehidupan: Penyair menyimpulkan dengan merenungkan momen akhir kehidupan di tengah keheningan dan ketenangan. Penyair merenungkan bagaimana proses pemisahan jiwa dari tubuh akan terjadi dan memahami bahwa tatapannya akan kembali kepada dunia ini untuk terakhir kalinya sebelum hilang. Penyair mengekspresikan rasa sakit, kehilangan, dan kepergiannya dari dunia ini.

Puisi "Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri" adalah sebuah puisi yang mengajak pembaca untuk merenungkan makna kematian, kehidupan, dan hubungan manusia dengan penciptanya. Puisi ini membawa kita dalam perjalanan spiritual dan introspeksi tentang nilai-nilai kemanusiaan, ketergantungan pada Allah, dan akhir dari eksistensi fisik di dunia ini.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Sebuah Ziarah, ke Kubur Sendiri
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.