Puisi: Kolam di Pekarangan (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi "Kolam di Pekarangan" mengajak pembaca untuk melihat keindahan dan kompleksitas kehidupan melalui gambaran sebuah kolam di pekarangan, yang ...
Kolam di Pekarangan (1)


Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga
tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya.
Ia ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya
hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya
pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu
banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak
bergoyang. Ia tak sempat lagi menyaksikan matahari yang
senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau
siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu
dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang
dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam
itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi
di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya
segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-
porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya
lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-
nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika
angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin.

Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya
menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti
bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan
entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba
untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari
di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak
pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil
mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa
mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya
membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun
lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka
membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki
pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau
kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.

Ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.

Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.


Kolam di Pekarangan (2)


Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada
daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak
berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya.
Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang
pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang
rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena
melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak.
Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil
sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa
hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan.
Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena
tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya
melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin
karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang
dikaitkan di ujung pancing. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu
daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia
yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu
bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air
digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut
bergerak tinggal saja di pojok kolam itu sampai zat entah
apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa
kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa
pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama
dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli
ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu.

Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.

Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak
hanya tetap berada di situ.


Kolam di Pekarangan (3)


Air kolam adalah jendela yang suka menengadah
menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela
rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut
merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia
tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan
daun dan menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit
tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar
sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan,
dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain
siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan
tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya.
Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang
terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin
rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus
bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang
karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu
sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-
benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah
darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu
agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya.
Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur,
kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima
kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak
suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan
kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan
di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai
gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak
peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah
yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan
garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan,
kadang bagai labirin.

Ia kini dunia.

Tanpa ibarat.


Sumber: Melipat Jarak (2015)

Analisis Puisi:
Puisi "Kolam di Pekarangan" menggambarkan narasi dalam tiga bagian yang menghubungkan beberapa elemen, seperti daun membusuk di kolam, ikan, dan air sebagai sebuah metafora yang meluas. Puisi ini mengajak pembaca untuk melihat keindahan dan kompleksitas kehidupan melalui gambaran sebuah kolam di pekarangan, yang mengandung refleksi tentang keberadaan, transformasi, dan relasi di antara elemen-elemen tersebut.

Kolam di Pekarangan (1): Penyair membuka puisi dengan gambaran tentang daun-daun yang membusuk di kolam, merujuk pada keinginan daun untuk merindukan ranting pohon jeruk yang dulunya membawanya. Ada elemen sentimentalitas dan keinginan untuk mempertahankan atau kembali kepada asal-usul, yang menyiratkan kerinduan akan keberadaan sebelumnya.

Kolam di Pekarangan (2): Bagian ini menggambarkan pandangan dari sudut pandang ikan di kolam, menceritakan bagaimana ikan menyadari dan menerima segala hal yang terjadi di dalam kolam sebagai bagian tak terpisahkan dari keberadaannya. Ikan melihat kolam sebagai dunianya sendiri, menerima apa pun yang jatuh ke dalamnya tanpa keberatan, bahkan saat daun-daun membusuk dan menjadi bagian dari lingkungan kolam yang berubah.

Kolam di Pekarangan (3): Bagian terakhir melanjutkan narasi tentang air sebagai jendela yang menunggu matahari dan lumut, menggambarkan air sebagai bagian dari sebuah alam semesta yang tak terbatas. Terdapat rasa keterikatan terhadap alam sekitar, serta kesadaran akan sifat alami yang memungkinkan transisi, seperti daun yang membusuk, lumut yang tumbuh, dan siklus kehidupan yang berlangsung di dalam kolam.

Puisi "Kolam di Pekarangan" menghadirkan gambaran kehidupan dalam sebuah kolam yang penuh dengan transformasi, transisi, dan keterikatan antara elemen-elemen yang terlibat. Sapardi Djoko Damono menggunakan imaji dan metafora yang kaya, memberikan gambaran tentang keterikatan diri dalam alam semesta yang terus berubah, menerima setiap perubahan sebagai bagian tak terpisahkan dari keberadaan.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Kolam di Pekarangan
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.