Puisi: Çrenggi, Mahapetir Itu (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi "Çrenggi, Mahapetir Itu" karya Sapardi Djoko Damono mengajak pembaca untuk merenungkan makna dalam kebijaksanaan, ketenangan, ketakutan, dan ...
Çrenggi, Mahapetir Itu (1)


Petapa itu tetap diam
ketika bangkai seekor ular
dikalungkan ke lehernya.
“Kau tampak elok sekarang
karena bisu terhadap
semua pertanyaanku,”
kata Maharaja itu.

Petapa itu tetap diam;
dunia masih berputar
pada sumbunya
ketika serombongan anak sekolah
yang tersesat di hutan
menyaksikan adegan itu.

Mereka seperti pernah menyaksikannya
dalam buku komik.


Çrenggi, Mahapetir Itu (2)


Di kota orang-orang
mendengar mahapetir itu.
“Siapkan bunga
dan binatang kurban
sebelum terdengar
suara tong-tong
dari menara
yang tengah dibangun itu!”

Mantra pun menderap
dari delapan penjuru
menyergap kota
yang biru dan bisu.
Doa pun meretas
lalu mengepul, menyesakkan nafas.


Çrenggi, Mahapetir Itu (3)


“Dari mana gerangan, kalian,
Anak-anak?”
Mereka nyengir lalu tertawa
sambil memamerkan
bangkai-bangkai ular
yang di leher melingkar.

Tangis tak mungkin lagi.
Sesal tak mungkin lagi.
Tak ada yang mungkin lagi
barangkali.

Apa pula gerangan
yang masih bisa mangkir
ketika tong-tong
terdengar seperti petir?
Petapa bisu tak berhak
bicara, meski tahu
menara yang dibangun itu
sia-sia, tapi bersyukur
bahwa anak-anak telah bersaksi
di hutan.


Sumber: Melipat Jarak (2015)

Analisis Puisi:
Puisi "Çrenggi, Mahapetir Itu" karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah karya sastra yang sarat dengan makna dan simbolisme. Puisi ini terdiri dari tiga bagian yang membahas berbagai aspek kehidupan dan kebijaksanaan, mengundang pembaca untuk merenungkan makna dalam setiap bait. Dalam analisis ini, kita akan membahas masing-masing bagian puisi secara terpisah dan menggali makna serta pesan yang terkandung di dalamnya.

Çrenggi, Mahapetir Itu (1)

Puisi dimulai dengan deskripsi seorang petapa yang diam, bahkan ketika seekor ular dikalungkan ke lehernya. "Kau tampak elok sekarang karena bisu terhadap semua pertanyaanku," kata Maharaja itu. Bagian pertama puisi ini menceritakan tentang seorang petapa yang memilih untuk tetap diam dalam menghadapi sebuah kejadian yang aneh. Ia lebih memilih untuk menjaga ketenangan dan hening daripada berbicara atau merespons situasi dengan emosi.

Dalam konteks ini, petapa mungkin merupakan simbol dari orang yang bijak dan tenang dalam menghadapi situasi yang sulit dalam hidup. Ular yang dikalungkan di lehernya bisa mencerminkan berbagai tantangan atau permasalahan yang datang dalam hidup, dan ketenangan petapa menggambarkan kebijaksanaan dalam menghadapinya. Bait terakhir menggambarkan anak-anak sekolah yang menyaksikan adegan ini, dan mungkin ini adalah cara penyair menggambarkan bahwa pelajaran kebijaksanaan dapat ditemukan dalam pengalaman sehari-hari, bahkan dalam hal-hal yang tidak biasa.

Çrenggi, Mahapetir Itu (2)

Bagian kedua puisi menggambarkan reaksi orang-orang di kota ketika mereka mendengar tentang "mahapetir itu." Mereka diminta untuk mempersiapkan bunga dan binatang kurban sebelum terdengar suara tong-tong dari menara yang sedang dibangun. Puisi ini menciptakan atmosfer ketegangan dan rasa takut dalam kota yang biru dan bisu.

Mantra dan doa yang disebutkan menggambarkan upaya manusia untuk mengatasi ketakutan dan ancaman yang datang dari petir tersebut. Meskipun manusia mungkin merasa kuat dan berdaya, ada kekuatan alam yang tetap menjadi misteri dan menakutkan.

Çrenggi, Mahapetir Itu (3)

Bagian ketiga puisi menghadirkan pertanyaan dari anak-anak kepada petapa, "Dari mana gerangan, kalian, anak-anak?" Anak-anak tersebut kemudian tertawa sambil memamerkan bangkai-bangkai ular yang di leher melingkar. Dalam bagian ini, terlihat bahwa anak-anak ini tidak takut dengan petapa dan tidak merasa bersalah dengan apa yang telah mereka saksikan.

Pertanyaan anak-anak tersebut dapat diartikan sebagai pencarian mereka terhadap pengetahuan dan pengalaman. Mereka belajar dari petapa dan mengambil pelajaran dari pengalaman yang mereka saksikan. Keseluruhan puisi menunjukkan bahwa dalam menghadapi misteri kehidupan dan alam, ada berbagai cara untuk meresponsnya, baik dengan diam dan ketenangan seperti petapa, atau dengan keingintahuan dan pengetahuan seperti anak-anak.

Puisi "Çrenggi, Mahapetir Itu" karya Sapardi Djoko Damono mengajak pembaca untuk merenungkan makna dalam kebijaksanaan, ketenangan, ketakutan, dan pengetahuan. Puisi ini menggunakan gambaran alam dan kejadian-kejadian dalam kehidupan sebagai simbol untuk menyampaikan pesan yang dalam dan filosofis tentang bagaimana manusia merespons misteri dan tantangan dalam kehidupan mereka.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Çrenggi, Mahapetir Itu
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.