Puisi: Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit" karya Taufiq Ismail penuh dengan gambaran-gambaran yang mendalam tentang berbagai aspek kehidupan.
Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit


Dermaga pelabuhan balok hitam pasangan tua
Kawanan undan beterbangan dua-dua
Ketika dingin mencercah kabut Atlantika
Topan berbunyi dalam resah dan bertanya bila

Ada benua baru bagiku, ada benua biru bagiku
Setiap kudatang tak bisa kutolak rindu
Tatkala mengetuk ngetuk pintu kotamu
Ketika ladang-ladang subur bawah langitmu

Ada beberapa pantai karang memanjang
Ada beberapa malam badainya garang
Tapi rencana masih jauh dan jauh lagi
Sementara angin menggaram lalu gerimis jatuh di sini.

Selamat pagi, ujarnya. Selamat pagi, kataku.
Hari segar bukan? Selendang angin berkibar lembut
Palermo cerah pukul sepuluh, langkah keledai manggut-manggut

Ladang tani di tengah benua di tepi perbukitan pina
Kuperah sapi mereka, kusabitkan gandum musim panas
Kakek tua di desa kecil, di muka warung mengisap pipa
Mereka menganggukkan kepala padamu bila kau lalu
Seperti kakekku di kampung, Gaek Ulu
Penanam kol bertelapak kasar dan berjemari besar
Dan istri-istri yang memberiku telur bekal di jalan
Mereka di mana-mana sama karena merekalah manusia
Padang-padang tulip, wahai pandangan mata burung
Berembusan dari utara tetangkai berguguran dalam cuaca

Angin musim dan sepuluh warna berteguran dalam sapa
Warna besi pijar, warna tembaga, warna logam berkarat
Warna perak kasar, warna aluminium, warna-warna yang sarat
Dan peparumu penuh bau daun, kulit kayu dan pupuk bumi

Jalan coklat kecil dalam taman di tengah lubuk hutan
Tiba-tiba danau yang biru dipagari lereng cemara
Daun-daunan jarum, hijaunya hijau abadi
Bunyi angin malam di hutan, risaunya risau sekali
Padang rumput membentang dalam kerdip bimasakti
Baringkan tubuh di luar kemah, bantalkan tangan di kepala
Bisakah kau hitung di atas silang gemintang yang cemerlang?

Tidak. Aku hanya bisa menghitungkan anak-anak sapimu
Baru lahir. Atau membilang orang yang lalu lalang
Di jalan samping sebuah cafe teduh pagi jam sepuluh
Di Lisbon. Baca koran tentang kapal uap dari
Genoa Lalu menyerakkan remah roti pada kawanan burung merpati

Dalam pertamanan bising di tengah kota mekanisasi
Hijau daunmu berdebu dan tanahmu berbau asam arang
Rawa-rawa di kotamu Harlem Berlumpur dan sangat sembarang
Senja pengap di antara lorong beton mengacu langit
Langit pun cuma sepotong-sepotong
Langit yang sesak nafas di atas
Melepas ribuan warga kota sehabis jam kerja
Lewat sekian stasiun, terowongan dan jambatan baja
Lewat komputer statistik dengan ingatan pita magnetik
Delapan ribu operasi dalam satu detik!

Udara dukana dalam bau keringat mesin, keringat sistim
(Kami tersedu untukmu, anak-anak alam yang yatim!)
Malam akhir minggu di Takarazuka, hidangan teh
Dan arak beras. Subuh di kota raksasa
Jalanan abu-abu dan gedung-gedung oleng
Di sinikah mesti kehidupan berlabuh, terdampar
Dalam lumpurmu, dan secara jadwal
Besok bertolak lagi pada Senin pagi?
Wahai meja mahogani, mesin minyak, kartu presensi
Wahai jentera besi, restoran otomat, gua-gua syahwati
Di balik bingkai jendelamu di dalam sini berdenting
Iba sekali. Mengetuk-ngetuk kaca baur dingin pada driji
Ketika tetes air memanjang dan jadi kristal
Ketika badai menguburmu jadi gurun putih bulan Januari

Deret tonggak berlampu natrium Kawat-kawat landai terentang menggigil
Ribuan jendela menutupkan mata di gedung-gedung tinggi

Di jalanan bawah salju subuh jadi lumpur kembali
Kapankah engkau, Manhattan, bisa agak berbaik hati
Salju putih kau ubah jadi lumpur
Zat asam jadi asam arang
Awan dan langit pun kau potong-potong
Pada warga kotamu kau bagi-bagi

Laut dermagamu bau amonia, gedungmu steril kreolin
Senja musim gugur kau bunuh terang-terangan di depanku
Di taman kota. Dan arsitek-arsitek itu (anak buahmu)
Melemparkan karkasnya ke tengah belukar beton bertulang

Rimba baja. Terbaring di antara seribu pejalan di Ginza
Terinjak-injak di halaman stasiun Gambir
Kereta ekspres sebelum lebaran
Terguling sepi ke halte stasiun bawah tanah
Ketika tak seorang pun mengindahkannya
Ketika tak seorang pun menangisinya
Walau pernah terdengar ada kotak di bar memutar
Pengemis-Pengemis di Paris
Atau penyanyi hitam meratapi matahari hampir habis
Menyebut gas air mata dan anjing pengaman demonstrasi
Mengenang presiden yang mati di jalan dan di balkon teater

Wahai pigmentasi epidermis yang demikian tipis!
Mencairlah. Apa yang kau peroleh dari purbasangka
Dan batasan genetika. Mengapa engkau
Meratap-ratap jua, bermalas-malas di tangga. Bangunlah!
Bangunlah dengan kerajinan dan kejujuran tukang sapu
Tukang sapu lantai lobi kantor pusat asuransi
Di suatu jalan Kolombo, atau Nova Skotia
Tak persis kuingat lagi. Matanya bercaya-caya
Seperti mata pak Utjang tukang kandang
Tukang kandang di klinik hewan, Djalan Taman Kencana

Mata yang tak percaya penindasan, tak percaya perang
Mata pedagang kelontong bersampan di Laut Merah
Mata tukang air berbaju hitam, kota Tiongkok tepi lautan

Yang percaya keringat menganyam rezeki
Bahwa bangun pagi memutar sarat jentera kehidupan
Walau begitu banyak yang terjepit
Tergilas sepi di bumi ini
Walau akhirnya berbunyi juga air mata
Yang menitik diam-diam
Karena kezaliman, jaring-jaring kekuasaan dan peperangan

Yang bertindihan ke pundak lelaki, anak dan perempuan
Mereka berdiri bersama di depan rumah kecil mereka, layu
Atau berjalan dengan gerobak barang dan sekedar bungkusan

Di bawah mendung awan perang
Atau mencoba lari melewati suatu perbatasan
Batas ilmu bumi dan batas bebas dengan mati
Begitu benarkah…Wahai mengusap dadalah
Iman-iman yang lemah. Sesuatu menegah, kata tak terucapkan
Bila badanmu lunglai jadi gelombang dan topan

Berdiamlah, jangan munculkan kata lagi
Karena anak-anakmu kini menangis
Di luar badai akan menyapu langit yang gerimis
Berdoalah, agar menjauh banjir, musim kering panjang
Dan marak gunung api, hama pertanian dan gempa
bum!

Dan tirani kekuasaan, tirani kesengsaraan
Serta kelaparan. Juga tirani ketakutan
(bagai Labah-labah-banyak-jari masih menjaringi Leher dunia hari ini)
Dunia dengan kota, pelabuhan, ladang, angin
Dan langit. Dunia dengan kulit coklat
Putih, kuning dan hitam
Yang pada Saat Penciptaan pertama-tama
Ditiupkan dahsyat padanya badai cinta
Kian abad kiaxi pelahan
Kini jadi cincin angin yang kecil
Ulurkan, ulurkan jari manismu kemari
Ulurkanlah tangan yang berdaki dan berpeluh
Dengan kerja.

Di gudang dermaga, gardu kereta
Melintas hutan jati yang sepi
Di kilang tebu, di padang Sumba kuda
Dan kerbau liar ngembara
Leher-leher berhanduk kecil meninggalkan
Pangkalan beca. Berdesing-desing nasib
Dalam angin panas dan embun dini hari
Langit di atas CTC, langit malam
Di atas bangunan hitam. Awan setetes-setetes
Berjajar mengalun dalam kelam
Tercampak lengang pada suara guruh yang jauh
Meluncur-luncur ke ladang, ke pematang
Ke bumi kerontang
Ahoi! Pergilah pergi, musim garang terlalu panjang!
Ahoi! Berlahiranlah anak-anak kambing, sapi dan ayam!
Bermekaranlah bunga-bunga bawang
Membulat-bulatlah daun kacang
Gemburkanlah tanah hai cacing-cacing
Tanah ladang-ladang kentang
Di tengah kebun kol, di bahu kakekku
Ulu Kaleng semprot hama tersandang
Di kakinya beribu kol membulat, hijau muda dan padat
Sejajar bertelentangan di bumi
Matahari dan hujan menyerbuki Tangan Tuhan mengusapi
Gembur dan subur semua jadi
Ayah di kebun kopinya, berperang dengan ilalang
Melawan kawanan tikus, pasukan kera dan babi hutan
Ibuku gemuk sibuk memberi makan ayam dan burung 
parkit
Di jauhan mesin-mesin menerjang hutan dan bukit
Dengan suara bergelegar karena akan membentangkan 
jalan raya
Dan beribu dusun terpencil tersentaklah dari tidurnya

Rimba-rimba, jurang dan rawa kelam menggeliat
Dalam kantuk lama. Durian hutan, salak belukar
Dan ikan-ikan rawa sebesar paha
Bumi pun bersinlah keras-keras
Dan mereka mengalir ke jalan raya
Mengalirlah pelan lendir karet, gambir dan cendana
Terbongkarlah intan, minyak bumi dan
Tambang batu bara. Di atasnya mengapung
Kayu manis, kayu jati dan kayu besi
Dan berlayar ratusan kapal dalam derum tak terhenti
Di antara pulau demi pulau
Mulai benderang dalam cahaya
Cahaya siang dan cahaya malam
Cahaya di antara tulang-tulang dada
Karena telah rampung bendungan alam
Telah dibongkar bendungan hati
Karena kebenaran akhirnya mengibarkan benderanya
Dalam tiupan angin kemerdekaan dan kebebasan sejati
Setelah segala bentuk pengorbanan kita serahkan 
padanya
Setelah satu-satu tiran tersungkur atau mundur
Karena perlawanan adalah kerja, perlawanan dalam doa
Doa untuk bumi seluruh isi dengan cinta abadi
Dunia yang telah luka-luka sepanjang gurun sejarah
Dan kemudian mencoba lagi mengulangi langkah
Dan turunlah malam di bagian bumi kita
Ketika orang-orang mulai berbaring melepas penat
Waktu kebebasan sejati dirasakan benar sebagai nikmat
Waktu senyum dan jabat tangan kita benar dalam ikhlas
Waktu tak ada lagi pengetuk malam membawa dalih
Malam ini syukurku berjalin terima kasih
Setelah tahun tahun yang mendung
Langit luka-luka
Meneteskan bencana duka
Kau selamatkan perjalananku ke benua-benua
Kau torehkan pesan alfabetis itu
Pada gelombang yang menyisir pesisir
Pada langit, angin, ladang dan kota
Dan kerja berat dengan hati yang kuat
Selamat malam dunia
Selamatkan malamku
Selamatkan siangku
Tuhanku.


Catatan:
Catatan pelayaran 14 kota, Agustus 1956 (kapal Itali Saturnia dan Neptunia) dari Juli 1957 (kapal barang Jepang Nissho Maru).


Sumber: Tirani dan Benteng (1993)

Analisis Puisi:
Puisi "Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya yang panjang dan penuh dengan gambaran-gambaran yang mendalam tentang berbagai aspek kehidupan dan dunia. Dalam puisi ini, penyair menghadirkan serangkaian gambaran yang luas, mulai dari pelabuhan hingga ladang, dari angin hingga langit, semuanya direfleksikan dalam suasana kota yang hektik.

Gambaran yang Beragam: Puisi ini merupakan gabungan dari berbagai gambaran yang beragam. Penyair menggambarkan pelabuhan, ladang, angin, langit, dan elemen-elemen alam lainnya dalam berbagai lokasi dan suasana. Gambaran-gambaran ini membentuk panorama yang kaya akan nuansa dan kesan yang berbeda-beda.

Kontras dan Harmoni: Puisi ini memperlihatkan kontras antara alam dan kota, serta kehidupan manusia dengan lingkungan alami. Penggambaran dermaga pelabuhan yang gelap dan ketenangan kawanan undan berbeda dengan gambaran orang-orang yang sibuk di kota. Namun, melalui puisi ini, penyair juga menemukan harmoni dalam keragaman ini, menciptakan sebuah komposisi puitis yang memadukan elemen-elemen berbeda menjadi satu kesatuan.

Perasaan Meluas dan Luasnya Dunia: Puisi ini menghadirkan perasaan meluas dan luasnya dunia yang dijelajahi oleh penyair. Dengan menggambarkan berbagai tempat dan situasi, puisi ini menciptakan perasaan bahwa dunia ini memiliki berbagai dimensi yang terus dijelajahi dan dirasakan oleh manusia.

Perubahan Musim dan Kehidupan Manusia:

Penggambaran perubahan musim dari musim gugur hingga musim panas, serta penggambaran kehidupan manusia dalam berbagai aktivitas seperti berladang dan bekerja di pelabuhan, menggambarkan perubahan dan dinamika kehidupan. Ini menciptakan perasaan perjalanan waktu yang mengalir dalam puisi ini.

Pesan Sosial dan Kebebasan: Pada akhir puisi, penyair mengarahkan pesan sosial dengan mengangkat tema perlawanan dan kebebasan. Dengan menciptakan perbandingan antara berbagai aspek kehidupan manusia, Taufiq Ismail merayakan kerja keras, perjuangan, dan kebebasan sejati. Pesan ini mengajak kita untuk menghargai kebebasan dan mengenang perjuangan orang-orang yang telah berjuang untuk itu.

Puisi "Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya yang luas dan kaya akan gambaran-gambaran yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan dan alam. Melalui puisi ini, penyair menciptakan suasana yang luas, melambangkan perjalanan melalui kehidupan dan dunia yang luas. Pesan sosial tentang perjuangan dan kebebasan memberikan dimensi mendalam pada puisi ini, mengajak kita untuk merenungkan peran dan makna kehidupan manusia dalam konteks alam semesta yang lebih besar.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.