Puisi: Sagu Ambon (Karya W.S. Rendra)

Puisi "Sagu Ambon" mengajak pembaca untuk merenungkan dampak kekerasan dan perang, serta menghargai kehidupan dan persaudaraan sebagai fondasi yang ..
Sagu Ambon

Ombak beralun, o, mamae.
Pohon-pohon pala di bukit sakit.
Burung-burung nuri menjerit.
daripada membakar masjid
daripada membakar gereja
lebih baik kita bakar sagu saja.

Pohon-pohon kelapa berdansa.
Gitar dan tifa.
Dan suaraku yang merdu.
O, ikan,
O, taman karang yang bercahaya.
O, saudara-saudaraku,
lihat, mama kita berjongkok di depan kota yang terbakar.

Tanpa 'ku sadari
laguku jadi sedih, mamae.
Air mata kita menjadi tinta sejarah yang kejam.

Laut sepi tanpa kapal layar.
Bumi meratap dan terluka.
Di mana nyanyian anak-anak sekolah?
Di mana selendangmu, nonae?
Di dalam api unggun aku membakar sagu.
Aku lihat permusuhan antara saudara itu percuma.
Luka saudara lukaku juga.

Camoe-camoe, Jakarta, 9 Mei 2002

Sumber: Doa untuk Anak Cucu (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Sagu Ambon" karya W.S. Rendra menciptakan gambaran yang kuat dan kaya akan metafora, menyampaikan pesan kritis melalui pemilihan kata yang mendalam.

Gambaran Alam dan Metafora: Puisi ini diawali dengan gambaran alam yang hidup, dengan ombak yang beralun, pohon-pohon pala yang sakit, dan burung nuri yang menjerit. Metafora alam ini kemudian mengarah ke penolakan terhadap kekerasan dan konflik agama dengan pernyataan "daripada membakar masjid, daripada membakar gereja, lebih baik kita bakar sagu saja." Sagunya di sini menjadi simbol persatuan dan perdamaian.

Tarian Alam dan Kesatuan Budaya: Gambaran tarian pohon kelapa, gitar, tifa, dan suara merdu menciptakan suasana kesatuan budaya yang damai. Melalui metafora ini, penyair menggambarkan kekayaan budaya dan keindahan alam yang terancam oleh konflik.

Bakar Sagu sebagai Simbol Perlawanan Damai: Pernyataan "lebih baik kita bakar sagu saja" menjadi titik sentral dalam puisi ini. Menyiratkan bahwa sagu, sebagai simbol persatuan dan kehidupan, lebih berharga daripada merusak tempat ibadah atau saling membakar. Pemilihan kata ini menunjukkan perlawanan damai terhadap kekerasan dan konflik.

Kritik terhadap Pemusnahan: Puisi ini menciptakan gambaran penderitaan dan kehancuran, terutama melalui gambaran "mama kita berjongkok di depan kota yang terbakar." Gambaran ini memberikan kritik terhadap pemusnahan dan konflik yang berdampak pada masyarakat.

Lagu yang Sedih dan Tinta Sejarah yang Kejam: Penyair mengekspresikan kesedihannya melalui lagu yang tak disadari. Air mata yang jatuh menjadi tinta sejarah yang kejam, menyoroti dampak konflik terhadap sejarah dan perasaan kolektif.

Permusuhan dan Persaudaraan: Penyair menyoroti kontras antara permusuhan dan persaudaraan dengan menggambarkan persaudaraan yang terabaikan dalam konflik. Pernyataan "permusuhan antara saudara itu percuma" mencerminkan ironi dan tragisnya situasi.

Rasa Sakit Bersama: Penyair menyampaikan rasa sakit bersama melalui gambaran "luka saudara lukaku juga." Hal ini menunjukkan empati terhadap penderitaan sesama manusia dan keinginan untuk bersatu melawan ketidakadilan.

Dalam puisi "Sagu Ambon," W.S. Rendra berhasil menyajikan pesan kritisnya melalui gambaran alam, metafora, dan kritik sosial. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan dampak kekerasan dan perang, serta menghargai kehidupan dan persaudaraan sebagai fondasi yang lebih berharga bagi masyarakat.

Puisi W.S. Rendra
Puisi: Sagu Ambon
Karya: W.S. Rendra

Biodata W.S. Rendra:
  • W.S. Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
  • W.S. Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 (pada usia 73 tahun) di Depok, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.