Puisi: Anjing Kidal (Karya Nirwan Dewanto)
Puisi: Anjing Kidal
Karya: Nirwan Dewanto
Anjing Kidal
Berapa lama sudah aku tak melihatmu, sayangku? Tapi aku masih juga berkata, pergilah, pergilah. Rumah ini milikku sekarang. Akan kurawat semua kitabmu, jam tanganmu, pisau cukurmu, album potretmu, segenap gerabahmu. Pergilah. Nun di sana mereka telah lama menunggumu. Para penyair, pegawai kotapraja, perawat bayi, penjaga pintu kereta, penyigi gardu listrik, pemilik restoran. Mereka mendengar lolongmu ketika seluruh kota hampir saja terhapus oleh hujan berbilang malam. Bukankah kau pembuat segala payung, perahu, dan perumpamaan? Ulurkan tanganmu sebelum mereka seperti lenyap, sebelum kemarau datang menyergap. Aku yakin kaubawa bubuk kopi dan sobekan gaunku agar kelak kau mampu kembali. Dan mengasihiku lagi.
Sungguh kau tak akan percaya, cintaku. Tangan kananku tertindih petunjuk jalan ataukah peti mati, aku tak tahu pasti. Aku tetap berada di halaman yang itu-itu juga. Masih tercium olehku bau rambutmu dan celah susumu sehingga aku tetap saja jatuh birahi. Sambil menggambar wajahmu di hamparan pasir, tak henti-henti aku minum dari bayang-bayangmu. Masih terpampangkah hujan di dalam sana? (Ah, tamsil apa lagi yang kaubuat untukku?) Itulah bayangan hujan yang membuatmu alpa bahwa tahun sudah berganti. Dan kaucitrakan air bah nun di kota agar rumahmu selalu terpacak jelita di puncak bukit karang di utara pelabuhan udara seperti sekarang ini. Pakaianku melapuk dan gugur pelan-pelan, kini aku bisa hidup seperti pokok tusam atau kembang sepatu yang telah lama kautanam. Jika kaudengar bel tukang pos di pagar, itu berarti aku tengah menulis puisi rahasia untukmu.
Betapa jejakmu di sini kian kentara saja ketika aku tak menemukan beritamu di koran pagi atau televisi. Percayalah, sayangku, aku rajin belajar menari sebab aku tak mampu menghapus tilasmu. Namun masih saja kucakari ranjang atau meja makan jika aku gamang menirukan untaian gaya yang termaktub dalam aneka kitabmu. Pun lidahku terjulur-julur jika aku memandang potret dirimu di dinding merah padam itu. Terkadang rumah ini bergetar hampir pecah oleh pesawat terbang yang merendah ke atap, tapi dengan gemuruh itulah aku bisa sejenak percaya bahwa aku, seperti juga kau, bisa juga dekat dengan maut dan kalibut.
Aneka kabilah yang lewat di depanku ganti-berganti berseru, “Lihat, betapa mahir tangan kirinya. Bahkan wajah kekasih yang dilukisnya adalah wajah kita juga.” Ada juga yang terkadang memindahkan pal si mati yang telah mengimpitku, tapi aku tak juga terguling ke bawah sana, ke kota yang hampir bahagia itu. Tapi bila aku menggambar dengan kedua tanganku, mereka kira aku menggali-gali ke dalam sana. “Ternyata ia paham juga arkeologi. Lihat, ia mencari sisa hujan asam yang membawa kita ke mari. Atau menyigi pecahan palu dan sabit yang telah memusnahkan moyang kita.” Mereka sungguh tak tahu, sayangku. Kaukira mereka tertarik padaku? Tidak, tidak sama sekali. Hanya kubuat mereka terpesona pada tanganku, lidahku, bayang-bayangku, lukisanku. Agar mereka tak melihatmu. Dan kuberi mereka cermin pasir sehingga mereka lupa memasuki rumahmu. Sekali-sekala bentang kainmu menghalangi mereka memandang ke arah jurang. “Sayang sekali tabir abu-abu sesempurna ini tak bisa kami bawa ke kampung halaman,” seorang penyair-musafir berkata.
Di bawah sana mereka kian mahir baris-berbaris. Sudahkah kau selesai, sayangku? Dari gema yang jauh itu aku tahu mereka telah menghapal namamu. Mereka ternyata tak tenggelam, bahkan kini merekalah yang hendak mengaramkanmu. Meninggilah, meninggilah, sayangku. Aku tahu kini puisi ditulis dengan ludah, daftar menu dengan darah, dan kitab undang-undang dengan termurah. Tolong bawakan daku gaung ting-ting palang pintu kereta api dan sisa harum santan dari tong es puter supaya rumahku tak menjelma museum. Lalu aku seperti mendengar lelangkah kaki mendekat ke pintu. Seperti apakah rupamu jika kau sampai lagi ke mari? Kini aku menjadi seperti bocah lagi: aku harus mengendus pakaianmu dan membubuhkan lumut ke potret dirimu agar mampu mengenalimu lagi, menangkapmu lagi.
Benar, mulai kuhancurkan sosok para peziarah itu dalam lukisanku. Bukankah peti mati, kembang sepatu, dan bubuk kopi harfiah belaka bagi mereka? Sungguh mereka tak tahu bahwa semua jalan menuju rumahmu. Alas pasir ini terasa basah sekarang (mungkin oleh air mataku, mungkin oleh hujan yang tak dapat kukenal lagi). Nun di ujung sana kausebut berbilang-bilang namaku sampai kau telanjang sepenuhnya. Di pintu rumahmu masih terpacak payung, perahu, puing pesawat terbang, dan kitab puisi, yang membuat maut takut mendekat padamu. Percayalah, aku selalu menujumu, meski kau tak kunjung melihatku. Menarilah selalu, cintaku, menarilah bahkan di ranah yang tak kunjung ke mari, selama lolong panjangku meningkahimu seperti bunyi jantung hati.
2007
Sumber: Jantung Lebah Ratu (2008)
Puisi: Anjing Kidal
Karya: Nirwan Dewanto
Profil Nirwan Dewanto:
- Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.