Puisi: Bangku Tunggu Stasiun Bis Antar Kota (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Bangku Tunggu Stasiun Bis Antar Kota" tidak hanya membangun gambaran yang kuat tentang kehidupan di stasiun, tetapi juga mengajak pembaca ...
Bangku Tunggu Stasiun Bis Antar Kota


Rupanya aku harus pergi lagi. Sendiri
Kembali duduk di bangku-tunggu malam ini
Sehelai koran sore dan bis penghabisan belum berangkat
Lampu pijar sekian ribu wat, sisa-sisa lagu 
'Desafinado'
Lalu-lintas mulai surut, malam pun berangkat larut
Kami sama menunggu ini, duduk di bangku kayu jati
Mengenang beberapa nama dan sekian peristiwa
Yang telah dipadatkan dan diberi selaput sunyi...
Tetanggaku gelisah, portir gelisah, siapa lagi resah
Sehelai karcis peron, tadi sore sobek di tengah
Denyut lalu lintas malam menyerap di nadiku
Panas, namun mulai sunyi serta ada yang tak terjawab
Pada bintik-bintik air di pelataran aspal hitam, rata dan dingin
Stasiun bis ini, terbuka rongga dan dipukul angin
Menganga, tanpa kata, lagu itu pun telah berhenti
Dimanakah jawaban terhadap sunyi? Kubaca langit
Di antara temaram daun-daun asam. Hanya sedikit
Tapi adakah? Benarkah? Dinding kaca loket berkilau
Portir itu mengenakan jaketnya
Pegawai Kota-praja memasang pipa. Mereka tak bicara
Padaku lagi. Mereka memasangkan sekrup-sekrup sunyi
Pada sistem mesin yang kelam ini
Sedangkan sunyi juga tidak lagi
Bicara padaku dengan bahasa itu
Aku tidak peka lagi? Mengapa kesunyian tidak...
Terlalu terlibat diri. Aku harus kini
Mengejar itu sunyi
                                     Sendiri
Apakah ini tiket terakhir untuk tiba besok pagi?
Bukan soal lagi. Perjalanan adalah perjalanan
Dan sebuah sinyal atau pengumuman pengeras suara
Memanggil nama kita
Membacakan baris-baris cuaca
Satu demi satu. Kita berangkat sendiri
Mungkinkah menoleh sempat lagi sekali
Mungkinkah ini tiket terakhir

                     untuk tiba
                     besok pagi

Bumi gemuruh yang                  sepi
Langit guruh yang                     sunyi.

1968

Sumber: Horison (September, 1968)

Analisis Puisi:
Puisi "Bangku Tunggu Stasiun Bis Antar Kota" karya Taufiq Ismail membawa pembaca ke dalam suasana tunggu yang melibatkan banyak unsur, termasuk harapan, kesunyian, dan perenungan. Melalui gambaran realitas di stasiun bis, penyair membawa pembaca ke dalam pengalaman sendiri, menyajikan pemandangan yang sekaligus konkrit dan simbolis.

Penggunaan Bahasa yang Deskriptif: Taufiq Ismail menggunakan bahasa yang deskriptif untuk menggambarkan suasana di stasiun bis. Gambaran seperti "bangku kayu jati," "lampu pijar," dan "koran sore" memberikan nuansa realitas yang konkret dan menangkap detail-detail kecil dari lingkungan stasiun.

Atmosfer Malam dan Kesunyian: Puisi ini menciptakan atmosfer malam yang penuh dengan kesunyian. Lampu-lampu yang menyala, bis yang belum berangkat, dan lagu 'Desafinado' menciptakan suasana yang tegang dan penuh antisipasi, menunjukkan tunggu yang panjang dan sunyi.

Pertanyaan dan Perenungan: Penyair menambahkan dimensi filosofis melalui pertanyaan dan perenungan yang terpapar dalam puisi. Pertanyaan mengenai tiket terakhir, perjalanan sebagai pengalaman hidup, dan kemungkinan menoleh sekali lagi menciptakan suasana misteri dan refleksi.

Kesunyian sebagai Subjek Utama: Kesunyian menjadi subjek utama yang dipertanyakan dan diperhatikan. Penyair mencoba memahami esensi dari kesunyian itu sendiri dan mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukannya kepada sunyi. Ini menggambarkan keingintahuan dan kegelisahan batin yang mendalam.

Pergeseran Fokus: Pergeseran fokus dari gambaran stasiun bis ke pertanyaan filosofis memberikan kedalaman pada puisi. Dinding kaca loket, pegawai yang memasang pipa, dan perjalanan yang dipertanyakan menjadi metafora perjalanan hidup dan pencarian jawaban terhadap pertanyaan eksistensial.

Guruh yang Sunyi: Metafora "Bumi gemuruh yang sepi, Langit guruh yang sunyi" menggambarkan kontras antara kehidupan yang penuh gejolak tetapi sepi, serta langit yang biasanya sunyi tetapi penuh potensi dan misteri.

Kesimpulan Bersifat Terbuka: Puisi ini diakhiri dengan pertanyaan yang bersifat terbuka mengenai kemungkinan tiket terakhir. Ini memberikan ruang bagi interpretasi pembaca dan meninggalkan kesan bahwa perjalanan hidup adalah perjalanan yang terus berlanjut, tanpa batas yang pasti.

Puisi "Bangku Tunggu Stasiun Bis Antar Kota" tidak hanya membangun gambaran yang kuat tentang kehidupan di stasiun, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan makna lebih dalam tentang perjalanan hidup dan eksistensi. Kesunyian yang dijelajahi di dalam puisi ini memberikan kesan mendalam dan daya tarik tersendiri.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Bangku Tunggu Stasiun Bis Antar Kota
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.