Puisi: Rijswijk 17 (Karya Taufiq Ismail)

Puisi: Rijswijk 17 Karya: Taufiq Ismail
Rijswijk 17


Malam itu kami duduk di beranda, bulan pun ada
Lalu lintas terasa hingar, deru-deram sebentar-sebentar
Memanjang kawat telepon di antara tiang yang merentang

Redup temaram dalam garis-garis coretan hitam
Dengung karet becak, lewat lubang selokan tua
Tiba-tiba di langit membusur titik cahaya
Di celah deretan pohon, menyusur cemara hospital
Kami sama berdiri. “Bulan auronetika-kah kini?’
Benda-angkasa itu meluncur pelahan
Dalam busur lengkung di langit barat
Lewat atas atap, lewat pucuk cemara hospital
Seraya ke bumi ini memberi cahaya sinyal
Kami sama terdiam, sama menatap cahaya yang main
Sebuah transistor menyanyikan tema jazz
Summertime Busur cahaya itu makin melengkung
Di atas gedung, menyentuh bayang bangunan
Melintas sebuah majelis yang tengah bersidang
Yang masih bergumul bagi kebebasan
Dan masalah-masalah kelaparan serta kemiskinan
Sementara benda-angkasa ini menunjuk ke bulan
Dan menjelujuri rimba-belantara teknologi
Majelis ini mencoba lagi mengeja kata demokrasi
Mulai menuliskan lengkung huruf ‘d’ dari demokrasi itu

Di langit pun membusur garis cahaya
Menerangi bumi ini, mulanya temaram, lalu makin terang

Anak-anak belasan tahun berlarian riang
Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan

Berkejaran dalam main bandit-dan-lakon
Menyusur trotoar, tembok-tembok kota dan jalan raya
Menggeledahi gedung-gedung birokrasi dan mengiringi mereka

Keluar. Berjalanlah mereka. Kawanan serigala
Yang khianat, dan kini dipisahkan dari pimpinannya
Sesekali dia meraung pendek. Meratapi langitnya makin senja

Meratapi bulan merah, pohon-pohon pinus lama
Dari dulu daerah perburuannya. Meraungi betina-betinanya

Dari lantai pualam menengadahlah dia ke angkasa
Angkasa yang kini, lebih dari masalah “saya terharu”
Lebih dari masalah bintang-bintang astrologi
Angka-angka komputer, eksperimen dan presisi teknologi!

Dan di sini, orang bergulat melawan anti-logika masih
Masalah empat-kebebasan, masalah kurangnya protein
Elektrifikasi dan cetak biru yang sia-sia
Seseorang berjalan, lalu puluhan berjalan, ribuan
Di bawah langit terik lagi, kecemasan lagi
Di antara lontaran cakram-cakram api
Seperti sebagian gelombang lama, pelahan meninggi
Membentur seberang sana. Berhenti
Dan berteriak: Hei kau-kau yang di sana! Kalian!
Hei… kau
Ya: kau!

Dan tiba-tiba semua terdiam. Terdiam. Hanya terdiam
Di Jakarta yang tua, Jakarta yang Betawi
Jakarta yang Ciliwung
Ketika dari Buitenzorg bergerak kereta-kencana ke utara
Dengan dua belas kuda putih sang Gubernur
Dalam derap-dua di jalan tanah
Tanah dijarah, bumi yang dijajah
Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang
Orang asing dan beberapa pribumi
Di Jakarta sini, ya, Jakarta yang Betawi
Jakarta yang Rijswijk, yang Meester, yang asli Betawi
Jakarta yang Empat Serangkai, yang Saiko Sikikan Kakka

Jakarta yang tugu, yang syauvinis, yang maksiat
Tapi semuanya
Tapi semuanya Jakarta yang Ciliwung
Jakarta yang Ciliwung
Mengalirlah kau Ciliwung, mengalirlah tenang
Mengalirlah lamban dengan kepekaan dan kecoklatanmu
Bersama lempung, bersama ampas, bersama sampah
Bersama sejarah

Dan malam ini kau surut, malu pada bulan di atas
Gusar pada benda angkasa yang membusur pelahan
Menyusur hasil-akhir perhitungan kosmografi
Sementara kau belum sempat-sempat membersihkan diri
Masalah smelter, perencanaan kota dan semacamnya
Dan di atas kau jembatan, lintas kawat dan flamboyan
Gugus-gugus bunga merah yang semakin rendah
Gugur ke sungai, gugur, hanyut dalam spiral
Bayang-bayang yang coklat
Bayang-bayang yang bergoyang
Perempuan mencuci
Anak telanjang yang mandi
Burung layang-layang melayang
Dalam senja hilang bayang-bayang
Di belakang barikade yang panjang
Kawat duri bersilang
Dinding sungai yang curam
Rumah-jaga terdiam
Karaben bersangkur terhunjam.


1966

Sumber: Tirani dan Benteng (1993)


Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Rijswijk 17
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.