Puisi: Zikir Seekor Cacing (Karya Ahmadun Yosi Herfanda)

Puisi "Zikir Seekor Cacing" mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan dan keberadaan yang sederhana namun tak terpisahkan dalam kehidupan ...
Zikir Seekor Cacing

Dalam duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga.

Cobalah kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur.

Di kota-kota padat beton dan baja
aku jadi penghuni tak berharga
tapi dengarlah kecipak ikan-ikan
bernyanyi atas kehadiranku
ketika tubuhku kurelakan
lumat jadi santapan.

Akulah si paling buruk rupa
di antara para kekasih dunia
namun syukurku tak tertahankan
ketika dapat ikut menyuburkan
taman bunga di beranda.

1990

Sumber: Sembahyang Rumputan (1996)

Analisis Puisi:

Puisi "Zikir Seekor Cacing" karya Ahmadun Yosi Herfanda menghadirkan suatu narasi yang unik dan dalam tentang makna kehidupan dari sudut pandang seekor cacing.

Simbolisme Cacing: Cacing dalam puisi ini menjadi simbol kehidupan yang sederhana namun memiliki makna yang mendalam. Cacing melambangkan keberadaan yang sering dianggap remeh, tetapi memiliki peran penting dalam menjaga kesuburan tanah dan lingkungan.

Ketidakbermaknaan dalam Kehidupan: Penyair menggambarkan cacing sebagai makhluk yang tak bermakna dalam dunia manusia yang sering kali memandang rendah pada keberadaannya. Meskipun demikian, cacing memiliki perannya sendiri dalam menjaga keseimbangan alam.

Zikir dan Kehadiran Spiritual: Cacing menyebutkan zikirnya, yang menjadi metafora untuk peran yang dimainkannya dalam menyuburkan tanah dan menjaga kehidupan di lingkungan sekitarnya. Ini juga dapat dipahami sebagai pengakuan akan keberadaan spiritual di tengah-tengah kesederhanaan hidup.

Penerimaan dan Syukur: Meskipun cacing dianggap sebagai makhluk yang buruk rupa dan tak berharga, ia menerima perannya dengan syukur. Bahkan dalam keterbatasannya, cacing merasa bersyukur karena dapat berkontribusi dalam menyuburkan tanah dan kehidupan di sekitarnya.

Kontras antara Alam dan Urbanisasi: Puisi ini menyoroti kontras antara alam dan kehidupan perkotaan yang padat. Cacing merasa tidak berharga di kota, namun terasa penting dalam alam yang lebih alami.

Dengan demikian, puisi "Zikir Seekor Cacing" mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan dan keberadaan yang sederhana namun tak terpisahkan dalam kehidupan ini. Melalui sudut pandang yang unik, puisi ini menggambarkan pentingnya penerimaan, syukur, dan kesadaran akan keberadaan spiritual di tengah-tengah kehidupan sehari-hari.

Ahmadun Yosi Herfanda
Puisi: Zikir Seekor Cacing
Karya: Ahmadun Yosi Herfanda

Biodata Ahmadun Yosi Herfanda:
  • Ahmadun Yosi Herfanda (kadang ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH) adalah seorang penulis puisi, cerpen, esai, sekaligus berprofesi sebagai jurnalis dan editor berkebangsaan Indonesia yang lahir pada tanggal 17 Januari 1958.
  • Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media-media massa, semisal: Horison, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana, dan Ulumul Qur'an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.