Puisi: Kesaksian Akhir Abad (Karya W.S. Rendra)

Puisi "Kesaksian Akhir Abad" karya W.S. Rendra menggambarkan kondisi Indonesia pada masa itu dengan sudut pandang yang tajam, mengungkap ...
Kesaksian Akhir Abad


Ratap tangis menerpa pintu kalbuku.
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.

O, tikar tafakur!
O, bau sungai tohor yang kotor!
Bagaimana aku akan bisa
membaca keadaan ini?

Di atas atap kesepian nalar pikiran
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu;
wahai, para leluhur Nusantara!

O, Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah!
O, Purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
mempersatukan tanah air!

O, Resi Kutaran! O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup
yang aneka dan sejahtera,
yang dijaga dewan hukum adat.
O, bagaimana mesti aku mengerti
bahasa bising dari bangsaku kini?

O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak-poranda.
Kejahatan kasat mata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan

O, anak cucuku di jaman cybernetic!
Bagaimana akan kalian baca
Prasasti dari jaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi ilham kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?

Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa rakyat indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat yang merdeka.
Hak hukum yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang mandiri
adalah hukum yang ditulis di atas air

Bagaimana rakyat bisa merdeka
bila polisi menjadi abdi pemerintah
yang melindungi hak warga negara?

Bagaimana rakyat bisa disebut merdeka
bila birokrasi negara
tidak mengabdi kepada rakyat,
melainkan mengabdi
kepada pemerintah yang berkuasa?

Bagaimana rakyat bisa merdeka
bila provinsi-provinsi
sekedar menjadi tanah jajahan pemerintah?
Tidak boleh mengatur ekonominya sendiri,
tatanan hidup masyarakatnya sendiri,
dan juga keamanannya sendiri.

Ayam, serigala, macan atau pun gajah
Setiap orang juga ingin berdaulat
di dalam rumah tangganya
Setiap penduduk ingin berdaulat
di dalam kampungnya
Dan kehidupan berbangsa
tidak perlu merusak daulat kedaerahan.

Hasrat berbangsa
adalah naluri rakyat
untuk menjalin  ikatan daya cipta antar suku,
yang penuh keanekaan kehidupan,
dan memaklumkan
wilayah pergaulan yang lebih luas
untuk merdeka bersama.

Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa sampai saat puisi ini aku tandatangani,
para elit politik yang berkedudukan
atau pun yang masih di jalan, 
tidak pernah memperjuangkan
sarana-sarana kemerdekaan rakyat.
Mereka hanya rusuh dan gaduh
memperjuangkan kedaulatan
golongannya sendiri!
Mereka hanya bergulat
untuk posisi sendiri.
Mereka tidak peduli kepada fungsi hukum,
fungsi polisi, atau pun fungsi birokrasi.
Dengan picik
mereka akan mendaur ulang
malapetaka negara yang telah terjadi.

O, Indonesia! Ah, Indonesia!
Negara yang kehilangan makna!
Dengan rakyat yang kehilangan kemanusiaan
maka negara tinggal menjadi peta.
Itupun peta yang lusuh
dan hampir robek pula.

Pendangkalan kehidupan bangsa
telah terjadi.
Tata nilai rancu.
Dusta dan kekerasan halal.
Manusia sekedar semak belukar
yang dikacau dan dibakar.
Paket-paket pikiran marah dijajakan.
Penalaran yang salah
mendorong rakyat terpecah belah.

Negara tak mungkin kembali di-utuh-kan
tanpa rakyatnya di-manusia-kan.
Dan manusia tak mungkin menjadi manusia
tanpa dihidupkan hati nuraninya.

Hati nurani adalah hakim adil
untuk diri kita sendiri.
Hati nurani adalah sendi
dari kesadaran
akan kemerdekaan pribadi.

Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa hati nurani itu meski dibakar
tidak bisa menjadi abu.
Hati nurani senantiasa bersemi
meski sudah ditebang putus di batang.
Begitulah fitrah manusia
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.


Candi Cetho, 31 Desember 1999

Sumber: Doa untuk Anak Cucu (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Kesaksian Akhir Abad" karya W.S. Rendra adalah sebuah karya sastra yang penuh dengan keprihatinan, kritik sosial, dan panggilan untuk kemanusiaan. Puisi ini menggambarkan kondisi Indonesia pada masa itu dengan sudut pandang yang tajam, mengungkap ketidakadilan, kebingungan identitas, dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.

Ratap Tangis dan Bau Darah: Puisi dimulai dengan gambaran ratap tangis yang menerpa pintu kalbuku dan bau anyir darah yang mengganggu tidur malam. Ini memberikan atmosfer yang penuh dengan tragedi dan penderitaan, menunjukkan bahwa kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada saat itu sangat sulit dan menyakitkan.

Tikar Tafakur dan Bau Sungai Tohor: Penyair menggunakan gambaran tikar tafakur dan bau sungai tohor yang kotor sebagai simbol-simbol kehidupan spiritual dan kebersihan yang telah tercemar. Pergeseran dari tikar tafakur menuju bau sungai yang kotor mencerminkan perubahan nilai dan norma dalam masyarakat.

Seruan kepada Leluhur Nusantara: Puisi memuat seruan kepada leluhur Nusantara, seperti Sanjaya dan Purnawarman. Leluhur-leluhur ini dihadirkan sebagai simbol kebijaksanaan dan kearifan lokal yang dapat membawa persatuan tanah air. Namun, pertanyaan "Bagaimana aku akan bisa membaca keadaan ini?" menggambarkan kebingungan dan ketidakmampuan penulis untuk memahami perubahan yang terjadi.

Kritik terhadap Kekerasan dan Kekacauan: Puisi mencerminkan kritik tajam terhadap kejahatan yang tampaknya tidak mendapatkan keadilan. Penggambaran kekuasaan kekerasan yang "berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan" menunjukkan perasaan ketidakpuasan terhadap penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang oleh penguasa.

Panggilan untuk Generasi Cybernetic: Penyair memanggil generasi "cybernetic" dan mengajukan pertanyaan tentang bagaimana mereka akan membaca prasasti dari zaman sebelumnya. Ini menciptakan gambaran kontras antara dunia modern yang teknologis dan tradisi yang lebih tua, menyoroti potensi ketidakpahaman generasi yang lebih muda terhadap sejarah dan nilai-nilai budaya.

Kesaksian tentang Belum Merdeka: Puisi menyatakan kesaksian bahwa rakyat Indonesia belum merdeka. Penekanan pada hak hukum yang tidak dilindungi dan kritik terhadap aparat keamanan yang seharusnya melindungi warga negara menciptakan gambaran tentang keadaan sosial dan politik yang mengkhawatirkan.

Kritik terhadap Elit Politik: Penyair memberikan kritik yang tajam terhadap elit politik yang lebih memperjuangkan kepentingan golongannya sendiri daripada memperjuangkan sarana-sarana kemerdekaan rakyat. Ketergantungan pada kekuasaan dan perjuangan yang hanya untuk kepentingan kelompok menjadi fokus kritik dalam puisi.

Kehilangan Makna dan Manusia yang Kehilangan Kemanusiaan: Penyair mengekspresikan keprihatinan terhadap kondisi Indonesia yang kehilangan makna dan masyarakat yang kehilangan kemanusiaan. Gambaran negara yang hanya menjadi peta yang lusuh mencerminkan keadaan kehancuran dan kehilangan identitas nasional.

Panggilan untuk Kembali pada Hati Nurani: Puisi menutup dengan panggilan untuk kembali pada hati nurani, hakim adil untuk diri sendiri, dan sendi kesadaran akan kemerdekaan pribadi. Ini menciptakan pesan harapan bahwa pemulihan dan kebangkitan dapat dimulai dari kesadaran individu dan kejujuran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Puisi "Kesaksian Akhir Abad" oleh W.S. Rendra bukan hanya sebuah karya sastra, melainkan juga sebuah kesaksian sosial yang tajam dan terarah. Melalui gambaran-gambaran puitis dan kritik sosial yang tajam, penyair menyampaikan keprihatinan dan panggilan untuk refleksi mendalam terhadap kondisi sosial dan politik di Indonesia pada saat itu.

Puisi W.S. Rendra
Puisi: Kesaksian Akhir Abad
Karya: W.S. Rendra

Biodata W.S. Rendra:
  • W.S. Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
  • W.S. Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 (pada usia 73 tahun) di Depok, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.