Puisi: Di Antara Pilar Jakarta (Karya Diah Hadaning)

Puisi ini bukan hanya sekadar deskripsi fisik Jakarta, tetapi juga menyentuh aspek-aspek emosional dan identitasnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan ....
Di Antara Pilar Jakarta

Siapa berkejaran
di antara bayang jembatan
sambil mengejek kota
tak lagi ramah pada manusia.

Siapa menembang
di antara galau pasar malam
sembari meneriaki rembulan
tak lagi bening menawan.

Siapa nyalakan unggun
di antara puing sisa kebakaran
sementara doa mengapung
di arusnya Ciliwung.

Siapa memanggili namaku
di antara angina dan debu
sementara kata-kata 'nuju muara
Jakarta gemetar di antara pilar.

Kaukah itu kaukah itu
saudaraku yang tersesat di arus
perubahan gerak waktu
kaukah itu kaukah itu.

Jakarta, Mei 1997

Analisis Puisi:
Puisi "Di Antara Pilar Jakarta" karya Diah Hadaning menciptakan gambaran tentang dinamika dan kompleksitas Jakarta sebagai kota besar.

Pertanyaan Identitas: Puisi dimulai dengan serangkaian pertanyaan "Siapa," menciptakan rasa misteri dan kebingungan. Pertanyaan-pertanyaan ini menyoroti ketidakjelasan identitas di tengah-tengah keramaian dan perubahan Jakarta.

Keberagaman Pemandangan: Penyair membentangkan pemandangan Jakarta yang beragam, mulai dari bayang jembatan, pasar malam, kebakaran, hingga sungai Ciliwung. Setiap elemen ini mencerminkan lapisan-lapisan kehidupan yang ada di ibu kota, memberikan gambaran yang kaya tentang keragaman dan kompleksitas kota tersebut.

Penghinaan terhadap Kota: Ungkapan "sambil mengejek kota tak lagi ramah pada manusia" memberikan nuansa kritik terhadap perubahan sosial dan struktural di Jakarta. Penyair merasa bahwa kota ini telah kehilangan kehangatan dan keramahan yang dulunya dimilikinya.

Pertanyaan Menggantung: Dengan pertanyaan-pertanyaan yang diulang seperti "Siapa," penyair memberikan kesan ketidakpastian dan penuh tanda tanya. Ini menciptakan suasana bingung dan mencerminkan kompleksitas Jakarta yang sulit dipahami.

Galau Pasar Malam dan Rembulan yang Tak Lagi Bening: Puisi menyajikan suasana "galau pasar malam" dan "rembulan tak lagi bening menawan," menciptakan citra tentang hilangnya keindahan dan keaslian di tengah-tengah kemajuan kota.

Saudara yang Tersesat di Arus Perubahan: Ungkapan "saudaraku yang tersesat di arus perubahan" menunjukkan rasa kehilangan dan ketidakpastian terhadap arah perkembangan Jakarta. Penyair merasa bahwa ada yang tersesat dalam laju perubahan yang begitu cepat.

Puisi ini bukan hanya sekadar deskripsi fisik Jakarta, tetapi juga menyentuh aspek-aspek emosional dan identitasnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung dan gambaran-gambaran yang kuat, Diah Hadaning berhasil menyajikan Jakarta sebagai kota yang kompleks, penuh pertanyaan, dan kadang-kadang sulit untuk dipahami.

"Puisi: Di Antara Pilar Jakarta (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Di Antara Pilar Jakarta
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.