Puisi: Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi "Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana" mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kehidupan, harapan, dan kekosongan yang mungkin dialami ...
Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (1)


Sudah kubilang, jangan kamu ke sana.


Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (2)


Ternyata memang tak ada
perempuan itu -
seorang tukang sepatu
di sudut perempatan;
digosoknya sepatu kaca
sebelah kanan saja;
tidak digubrisnya
pertanyaan yang hati-hati disodorkan
kepadanya.
Sepanjang jalan tanpa gerak
tanpa dengus napas.
Mendadak di seberang sana
terdengar seseorang
bicara tak jelas
dengan pemuda tampan
yang menuntun sepeda motornya
selebihnya: seutas tali
yang sia-sia.


Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (3)


Memang hanya seorang
tukang sepatu
hanya waktu yang berhenti
di tengah malam
tepat, tak bergerak
sebelum berganti hari
seperti menunggu warta.
Tapi aspal tak ramah
terhadap kereta kuda
yang diharapkan lewat
tengah malam itu
menyampaikan amanat
dari langit yang sengit
yang lebih suka
tinggal di bukit.


Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (4)


Sudah kubilang, jangan kamu ke sana.


Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (5)


Perempuan tanpa gincu
berhenti di depan tukang sepatu
tampaknya menanyakan sesuatu
mungkin menanyakan sesuatu - 
rok kubis merah meredup
di bawah rimbun malam
yang berharap hari
segera berganti
yang berharap kena hujan;
bibir yang tak putusnya
melelehkan suara-suara
mungkin mantra
mungkin rasa perih
yang menyertai putus asa
mungkin harapan yang salah musim;
dan tukang sepatu menggosok
dan terus menggosok
moga-moga berpikir
itulah jawabnya.


Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (6)


Kota ini sebuah muara
bagi sekawanan burung
yang telah bermigrasi
dari tanah-tanah jauh
hanya untuk tiada –
setelah sejenak bertengger
sejenak saja
di pohonan pinggir jalan
sebelum sempat bercericit
tentang sepatu kaca
sebelah kiri saja
yang tak terurus
di tangga istana di sebuah bukit
sebelum sempat memberi salam
kepada si tukang sepatu
yang sejak semula yakin
tak akan ada seekor burung pun
sempat hinggap di kota
yang muara
yang sengit
yang tak gemar
pada kata.


Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (7)


Sudah kubilang, jangan kamu ke sana.


Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (8)


Seutas tali yang sia-sia.


Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana (9)


Waktu tak hendak beranjak
tepat di pergantian hari.

Sumber: Melipat Jarak (2015)

Analisis Puisi:

Puisi "Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana" karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan sebuah narasi yang kompleks tentang kehampaan, kekosongan, dan harapan yang tidak terpenuhi.

Naratif dan Struktur Puisi: Puisi ini terdiri dari beberapa bagian yang secara keseluruhan membentuk narasi yang terhubung. Setiap bagian memiliki lapisan makna yang berkontribusi pada pemahaman keseluruhan puisi.

Tema Kehampaan dan Kesendirian: Puisi ini menciptakan suasana kesunyian dan kekosongan, terutama melalui gambaran tukang sepatu yang berdiri sendiri di sudut perempatan. Kesendirian ini dipertegas dengan ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan orang di sekitarnya, bahkan saat ada perempuan tanpa gincu yang tampaknya ingin bertanya sesuatu.

Simbolisme Sepatu Kaca: Sepatu kaca yang digosok oleh tukang sepatu menjadi simbol keinginan atau harapan yang sia-sia. Sepatu kaca hanya sebelah yang digosok, sementara yang lainnya terbengkalai. Ini mungkin menggambarkan harapan yang tidak realistis atau pencarian yang tidak pernah terpenuhi.

Makna Kota sebagai Muara: Kota digambarkan sebagai muara bagi sekawanan burung migran yang singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya. Ini menciptakan gambaran tentang kekosongan dan perubahan yang tidak berarti dalam konteks kehidupan kota modern.

Penekanan pada Kesendiriannya: Dengan pengulangan frasa "Sudah kubilang, jangan kamu ke sana," puisi menekankan kesendirian dan keputusasaan yang mungkin dirasakan oleh subjek puisi. Meskipun ada peringatan untuk tidak pergi ke suatu tempat, subjek tampaknya tetap berharap pada suatu perubahan atau sesuatu yang lebih baik.

Tone dan Suasana: Tone puisi ini cenderung melankolis dan reflektif, menciptakan suasana introspektif yang mengundang pembaca untuk merenungkan arti yang lebih dalam di balik kata-kata dan gambaran yang digambarkan.

Dengan demikian, puisi "Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana" adalah puisi yang sarat dengan makna simbolis dan lapisan emosional. Melalui penggunaan gambaran yang kuat dan bahasa yang mendalam, Sapardi Djoko Damono mengajak pembaca untuk merenungkan tentang kehidupan, harapan, dan kekosongan yang mungkin dialami oleh individu dalam perjalanan mereka melalui dunia yang kompleks ini.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Sudah Kubilang, Jangan Kamu ke Sana
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.