Puisi: Rindu pada Setelan Jas Putih dan Pantolan Putih Bung Hatta (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Rindu pada Setelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta" karya Taufiq Ismail menggambarkan rasa rindu terhadap nilai-nilai tradisional, ....
Rindu pada Setelan Jas Putih
Dan Pantolan Putih Bung Hatta (1)


Di awal abad 21, pada suatu Subuh pagi aku berjalan kaki di Bukittinggi, hampir tak ada kabut tercantum di leher Singgalang dan Merapi, yang belum dilangkahi matahari. Lalu lintas kota kecil ini dapat dikatakan masih begitu sunyi, menurun aku di Janjang Ampek Puluah, melangkah ke Aue Tajungkang, berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung Hatta.
 
Di rumah beratap seng nomor 37 itulah, di awal abad 20, lahir seorang bayi laki-laki yang kelak akan menuliskan alphabet cita-cita bangsa di langit pemikirannya dan merancang peta Negara di atas prahara sejarah manusianya.
 
Dia tak suka berhutang. Sahabat karibnya, Bung Karno, kepada gergasi-gergasi dunia itu bahkan berteriak, "Masuklah kalian ke neraka dengan uang yang kalian samarkan dengan nama bantuan, yang pada hakekatnya hutang itu".

Suara lantang 39 tahun yang silam itu terapung di Ngarai Sianok, hanyut di Kali Brantas, menyelam di Laut Banda, melintas di Selat Makassar, hilang di arus Sungai Mahakam, kemudian tersangkut di tenggorokan 200 juta manusia.

Dua ratus juta manusia itu, terbelenggu rantai hutang di tangan dan kaki, di abad kini. Petinggi negeri di lobi kantor Pusat Pegadaian Dunia duduk antri, membawa kaleng kosong bekas cat minta sekedarnya diisi. Setiap mereka pulang, hutang menggelombang, setiap bayi lahir langsung dua puluh juta rupiah berkalung hutang, baru akan lunas dua generasi mendatang.


Rindu pada Setelan Jas Putih
Dan Pantolan Putih Bung Hatta (2)


Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, aku merenung di depan rumah beratap seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini, yang di awal abad 20 lalu tempat lahir seorang bayi laki-laki. Aku mengenang negarawan jenius ini dengan rasa penuh hormat karena rangkaian panjang mutiara sifat: tepat waktu, tunai janji, ringkas bicara, lurus jujur, hemat serta bersahaja.

Angku Hatta, adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku? Kucatat dalam puisiku, Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu. Tujuh windu sudah berlalu, aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu, rindu pada sejumlah sifat dan nilai, yang kini kita rasakan hancur
bercerai-berai. Kesatuan sebagai bangsa, rasa bersama sebagai manusia Indonesia, ikatan sejarah dengan pengalaman derita dan suka, inilah kerinduan yang luput dari sekitar kita.
 
Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja, lurs yang tabung, waktu yang tepat berdentang, janji yang tunai, kalimat yang ringkas padat, tata hidup yang hemat.
 
Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta, pada setelan jas putih dan pantalon putihnya, simbol perlawanan pada disain hedonisme dunia, tidak sudi berhutang, kesederhanaan yang berkilau gemilang.

Kesederhanaan. Ternyata aku tak bisa hidup bersahaja. Terperangkap dalam krangkeng baja materialisme, boros dan jauh dari hemat, agenda serba bendaku ditentukan oleh merek 1000 produk impor, iklan televisi dan gaya hidup imitasi.
 
Bicara ringkas. Susah benar aku melisankan fikiran secara padat. Agaknya genetika Minang dalam rangkaian kromosomku mendiktekan sifat bicaraku yang berpanjang-panjang. Angku Hatta, bagaimana Angku dapat bicara ringkas dan padat? Teratur dan apik? Aku mengintip Angku pada suatu makan siang di Jalan Diponegoro, yang begitu tertib dan resik, Tepat waktu. Bung Hatta adalah tepat waktu untuk sebuah bangsa yang selalu terlambat. Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya telat. Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa. Kelurusan dan kejujuran. Pertahanan apa yang mesti dibangun di dalam sebuah pribadi supaya orang bisa selalu jujur? Jujur dalam masalah rezeki, jujur kepada isteri, jujur kepada suami, jujur kepada diri sendiri, jujur kepada orang banyak, yang bernama rakyat? Rakyat yang di tipu terus-menerus itu.
 
Ketika kita rindu bersangatan kepada sepasang jas putih dan pantalon putih itu, kita mohonkan kepada Tuhan, semoga nilai-nilai dan sifat-sifat luhur yang telah hancur berantakan, kepada kita utuh dikembalikan.


Rindu pada Setelan Jas Putih
Dan Pantolan Putih Bung Hatta (3)


Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, di depan rumah beratap seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini aku menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian aku masuk ke dalamnya, dan di ruang tamu menatap potret dinding aku berdiri, tampaklah Bung Hatta di antara rakyat banyak dalam gambar itu. Tiba-tiba Bung Hatta keluar dari gambar sepi itu.
 
Kemudian Bung Hatta berkata: "Ceritakan Indonesia kini menurut kamu" aku tergagap bicara. Angku, mangadu ambo kini. Angku, saya mengadu kini. Krisis berlapis-lapis bagaikan tak habis-habis. Krisis ekonomi, politik, penegakan hukum, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, keamanan, kekerasan, pertumpahan darah, pemecah-belahan, dan di atas semua itu, krisis akhlak bangsa.
 
"Otoritarianisme panjang menyuburkan perilaku materialistic, tamak, serakah, tipu-menipu, konspiratif, mengutamakan keluarga dekat, memenangkan golongan sendiri, dan tingkah laku feodalistik. Krisis nilai luhur merubah potret wajah bangsa menjadi anarkis, bringas, ganas, tak bersedia kalah, tak segan memfitnah, memaksakan kehendak, pendendam, perusak, pembakar dan pembunuh. Kekerasan, api, batu, peluru, puing mayat, asap dan bom sampai ke seluruh muka bumi. Tetapi tentang bom itu, nanti dulu. Sepuluh dua puluh tahun lagi, lihat, akan terungkap apa sebenarnya sandiwara besar skenario dunia yang dipaksakan hari ini. Mentang-mentang.
 
Aku menarik nafas. Bung Hatta diam. Tak ada senyum di wajahnya Angku Hatta. Harga apa saja di Indonesia naik semua, kecuali satu. Harga nyawa. Nyawa murah dan luar biasa jatuh nilainya. Di setiap demo orang mati. Tahanan polisi gampang mati. Pencuri motor dibakar mati. Anak-anak sekolah belasan tahun dalam tawuran, tanpa rasa salah dengan ringan membunuh temannya lain sekolah. Mahasiswa senior yang garang menggasak, menggampar, menyiksa juniornya sampai mati. Tahun depan pembunuhan di kampus lain di ulang lagi. Dendam dipelihara dan diturunkan".
 
Sesak nafasku. Bung Hatta diam. Matanya merenung jauh. Alkohol, nikotin, judi, madat, putau, ganja dan sabu-sabu telah meruyak dan mencengkeram negeri kita, mudah dibeli di tepi jalan, di sekolah, di mana-mana. Indonesia telah menjadi sorga pornografi paling murah di dunia. Dengan uang sepuluh ribu anak SLTP dengan mudah bisa membeli VCD coitus lelaki-perempuan kulit putih 60 menit, 6 posisi dan 6 warna. Anak-anak SD membaca komik cabul dari Jepang. Di televisi perselingkuhan dianjurkan dan diajarkan

Gelombang hidup permisif, gaya serba boleh ini melanda penulis-penulis pula. Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya, asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dan kompetisi Gerakan Syahwat Merdeka. Betapa tekun mereka melakukan rekonstruksi dan dekonstruksi daftar instruksi posisi syahwat selangkangan abad 21 yang posmo perineum ini.

Dari uap alkohol, asap nikotin dan narkoba, dari bau persetubuhan liar 20 juta keping VCD biru, dari halaman-halaman komik dan buku cabul menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus terlantar tiga hari di selokan pasar desa ke seluruh negeri.


10 November 2003

Catatan:
Dibacakan oleh Taufiq Ismail pada Acara Deklarasi Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi, Sumatera Barat, di Asrama Haji, Tabing, Padang, tgl. 15 Ramadhan 1424 H.

Analisis Puisi:
Puisi "Rindu pada Setelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta" karya Taufiq Ismail adalah karya yang penuh dengan rasa kagum dan rindu terhadap figur Bung Hatta, salah satu tokoh perintis kemerdekaan Indonesia. Puisi ini menggambarkan perasaan pengarang terhadap nilai-nilai yang diwakili oleh Bung Hatta, nilai-nilai yang tampaknya telah hilang dalam masyarakat modern.

Bagian 1: Awal Puisi

Puisi ini dimulai dengan pengarang yang berjalan-jalan di Bukittinggi dan merenungkan rumah kelahiran Bung Hatta di sana. Dalam deskripsi tentang Bung Hatta, pengarang menekankan nilai-nilai yang sangat dihormati dalam karakternya, seperti ketepatan waktu, keterusterangan, ketepatan janji, kejujuran, hemat, dan kesederhanaan. Ini adalah nilai-nilai yang dianggap pengarang sebagai fondasi yang hilang dalam masyarakat modern.

Bagian 2: Kesederhanaan

Pengarang menggambarkan rindu pada kesederhanaan dalam gaya hidup. Dia mencatat bahwa masyarakat modern sering terperangkap dalam kemewahan dan materialisme. Referensi terhadap Bung Hatta yang tidak suka berhutang mencerminkan sikapnya yang hemat dan tidak terpengaruh oleh konsumsi berlebihan. Ini mengingatkan pembaca pada pentingnya kesederhanaan dalam kehidupan.

Bagian 3: Ketepatan Waktu dan Kejujuran

Pengarang juga merindukan ketepatan waktu dan kejujuran, terutama dalam konteks politik dan administratif. Dia menggambarkan bagaimana banyak pertemuan dan acara seringkali terlambat di Indonesia, dan ini menciptakan masalah dalam pembangunan dan pengambilan keputusan. Ketepatan waktu adalah sifat yang dihargai oleh Bung Hatta dan dianggap sebagai atribut penting untuk membangun sebuah bangsa yang disiplin.

Bagian 3: Krisis Nilai

Pengarang kemudian memasuki tema yang lebih serius, yaitu krisis nilai yang dia yakini menghantui masyarakat modern. Dia menggambarkan masalah seperti korupsi, kekerasan, kecurangan, dan kehilangan nilai-nilai moral. Puisi ini mencerminkan keprihatinan atas perubahan sosial dan moral dalam masyarakat modern, yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang dipegang oleh Bung Hatta.

Puisi "Rindu pada Setelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta" oleh Taufiq Ismail adalah sebuah karya yang menggambarkan rasa rindu terhadap nilai-nilai tradisional, kesederhanaan, ketepatan waktu, dan kejujuran yang diwakili oleh tokoh sejarah Indonesia, Bung Hatta. Puisi ini menciptakan refleksi tentang perubahan masyarakat modern dan kehilangan nilai-nilai penting yang harus dipegang oleh generasi saat ini.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Rindu pada Setelan Jas Putih dan Pantolan Putih Bung Hatta
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.