Puisi: Bulan Madu (Karya Nirwan Dewanto)

Puisi: Bulan Madu Karya: Nirwan Dewanto
Bulan Madu
(untuk Nobuyoshi Araki)


Sebutir kancing kemeja terjatuh ke lantai dan dua-tiga helai benang dari gaun pendek tembus-pandang menancap ke seprei sebelum dua bahu yang semula saling menghela tampak jadi selengkung gelombang tunggal belaka yang segera memadat meninggi memecah ganti-berganti ke jeram jantung yang selalu lalai kapan mesti menutup tirai pada pintu geser kaca.

Alangkah baiknya jika terdengar saja derum mesin pemotong rumput dari arah taman agar erang dan raung mampu melesat tak tertahan dari sepasang kerongkongan yang kian dahaga demi mencapai puncak tamasya sejati tanpa mengganggu sesiapa yang di kamar-kamar sebelah atau atas mungkin sedang membuat sarapan pagi atau bersiap-siap terjun ke kolam renang.

Setelah empat hari di pintu masih juga tergantung DO NOT DISTURB agar tubuh yang hampir hangus oleh surya dan tubuh lain yang masih saja terlihat murni dan berwarna gading kian leluasa mengganas saling mengungkai seakan liburan segera berakhir besok seakan lukisan buah-buahan bergaya Cezanne di dinding cukuplah untuk menggantikan laut dan gugus karang di luar sana.

Muda adalah abadi jika lapar cukup disembuhkan dengan dua-tiga butir apel hijau dan susu kedelai sisa hari kemarin jika manis di bibir tetap bertahan sampai habis senjakala ketika semua katasifat yang digunakan terlalu melambung sepanjang hari harus diperbaharui dengan makan malam di restoran terdekat yang menyediakan salad pepaya ebi dan sup udang Thai dan bir Singha.

Pada hari ketujuh lidah mulai belajar meluncurkan t-i-d-a-k terutama jika telinga mendengar seruan di mana kaus kakiku yang sebelah di mana Femina yang kubaca tadi malam meski darah masih juga berlari kencang ketika sepasang mata berpapasan khususnya di pintu kamar mandi di mana sayang-disayang bisik- membisik bahwa terlaranglah berbasuh bersama atau bernyanyi di bawah pancuran air panas.

Bilah perut dan dada sudah mulai kehilangan api dan rambut menyulur lisut teramat kecut ketika baju-baju yang belum sempat dicuci mesti dimasukkan serampangan ke dalam dua koper geret dan sepatu kets dan sandal kulit yang belum dibersihkan dari sisa pasir dan garam terpaksa membungkus kaki-kaki yang mesti bergegas ke pelabuhan udara mengejar pesawat terakhir ke ibukota.

Akhirnya kita harus menyigi apa merek shampoo istri dan di mana terjatuh kacamata suami namun jangan lupa mengambil ruang tamu apartemen mereka ZOOM IN ke arah jambangan keramik hijau gelap kasar dan patung harimau perunggu bergaya Nyoman Nuarta yang dibeli di Sanur dan jika kau terpaksa membidik ke dapur tolonglah gunakan cahaya alamiah sebanyak mungkin -

sebab di sanalah si perempuan yang kita cintai sedang terluka telunjuk kirinya oleh pisau ketika mengiris daun bawang untuk telur dadar sarapannya sendiri sebab kita mual akan si lelaki yang barusan kasar membanting pintu kamar namun tiba-tiba terdengar teriakan CUT CUT CUT kenapa kalian larut ke dalam haru kenapa kalian lupa bahwa kita tengah membuat film pendek yang tanpa alur belaka.


2008

Sumber: Buli-Buli Lima Kaki (2010)

Nirwan Dewanto
Puisi: Bulan Madu
Karya: Nirwan Dewanto

Profil Nirwan Dewanto:
  • Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.