Puisi: Bulan Kota Jakarta (Karya W.S. Rendra)

Puisi "Bulan Kota Jakarta" bukan hanya menggambarkan keindahan yang terpingsan oleh urbanisasi, tetapi juga merupakan kritik sosial terhadap ....
Bulan Kota Jakarta

Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya!

O, gerilya kulit limau!
O, betapa lunglainya!

Bulan telah pingsan.
Mama, bulan telah pingsan.
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya.

Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
bocah pucat tanpa mainan,
pesta tanpa bunga.

O, kurindu napas gaib!
O, kurindu sihir mata langit!

Bulan merambat-rambat.
Mama, betapa sepi dan sendirinya!
Begitu mati napas tabuh-tabuhan
maka penari pejamkan mata-matanya.

Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya.

Bulanku! bulanku!
Tidurlah, Sayang, di hatiku!

Sumber: Empat Kumpulan Sajak (1961)

Analisis Puisi:
Puisi "Bulan Kota Jakarta" karya W.S. Rendra menggambarkan keseharian di tengah gemerlapnya ibu kota Indonesia, Jakarta. Dalam karya ini, penyair menyampaikan pesan yang dalam tentang kehilangan kemanusiaan dan ketidakpedulian terhadap keindahan alam.

Bulan Sebagai Simbol Kehidupan dan Keindahan: Bulan, yang secara simbolis sering dikaitkan dengan kehidupan, keindahan, dan ketenangan, digambarkan pingsan di atas kota Jakarta. Ini menciptakan kontras yang kuat antara keindahan alam dan kerasnya realitas perkotaan.

Lunglai dan Kesepian: Penggunaan kata "lunglai" menyiratkan kelemahan dan kelelahan bulan. Kesepian bulan menggambarkan ketidakpedulian manusia terhadap kecantikan dan penderitaan yang mungkin dialami oleh alam di tengah urbanisasi.

Gerilya Kulit Limau dan Kritik Terhadap Pencemaran: Istilah "gerilya kulit limau" dapat diartikan sebagai cahaya lampu atau polusi yang merusak keindahan bulan. Pencemaran dan lampu-lampu kota Jakarta dianggap sebagai senjata yang menyebabkan pingsannya bulan.

Pencitraan Kehidupan Kota: Penyair mengekspresikan kekecewaan terhadap kehidupan kota yang keras dan tanpa empati. Gedung-gedung tak berdarah yang berpaling dari bulan dianggap sebagai simbol kehidupan yang dingin dan tanpa jiwa.

Kehilangan Kemanusiaan: Penggambaran lampu-lampu kota dan gedung yang tak berdarah menciptakan citra kehidupan kota yang kehilangan kehangatan dan kemanusiaan. Kritik ini melibatkan aspek-aspek kehilangan nilai-nilai kehidupan yang seharusnya dihargai.

Kerinduan Akan Kemanusiaan dan Keindahan: Dengan merindukan "napas gaib" dan "sihir mata langit," penyair mengekspresikan kerinduannya akan kemanusiaan dan keindahan yang mungkin telah hilang dalam rutinitas dan kesibukan perkotaan.

Sarana Dalam Bentuk Cinta: Penutup puisi dengan kalimat "Tidurlah, Sayang, di hatiku!" menggambarkan rasa cinta dan rindu penyair terhadap keindahan yang telah hilang. Puisi ini mungkin juga mencerminkan keinginan untuk menjaga keindahan dan keaslian di hati manusia.

Puisi "Bulan Kota Jakarta" bukan hanya menggambarkan keindahan yang terpingsan oleh urbanisasi, tetapi juga merupakan kritik sosial terhadap kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dalam perkembangan kota modern. W.S. Rendra dengan mahir menghadirkan suara hati yang merindukan keindahan, kedamaian, dan kemanusiaan di tengah hiruk-pikuk perkotaan.

Puisi W.S. Rendra
Puisi: Bulan Kota Jakarta
Karya: W.S. Rendra

Biodata W.S. Rendra:
  • W.S. Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
  • W.S. Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 (pada usia 73 tahun) di Depok, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.