Puisi: Di Tikungan (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Di Tikungan" karya Diah Hadaning mengajak pembaca untuk merenungkan perubahan sosial dan spiritual dalam masyarakat. Dengan menggunakan ...
Di Tikungan


Orang-orang pemilik senyum bunga
tiba-tiba hilang kendali
menjadi kepompong tak berjiwa
bergerak tanpa jantung dan kepala
mengiringi tarian iblis
sambil menyabetkan linggis
para kawula menangis
kota pun semakin berubah
jarah dicacah-cacah
karisma mutiara langka itu
di mana hilangnya kini kucari
gagap seorang saksi jaman
meraba dalam kegelapan
sementara galau di timur
resah di tanah barat
membuat harapan masih sekarat
doa terlempar di altar
zikir kemibir di subuh getir
mimis amis tak pilih nyawa
ruh hukum hilang makna
seorang saksi jaman terus mencatat
tangannya gemetaran
di antara para pemerkosa gentayangan
di antara para korban berjatuhan
jaman telah sampai di tikungan.


Bogor, Agustus 2000

Analisis Puisi:
Puisi "Di Tikungan" karya Diah Hadaning merupakan karya sastra yang penuh dengan simbolisme dan refleksi sosial. Dengan kata-kata yang kuat dan gambaran yang mendalam, Diah Hadaning menggambarkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat serta peran seorang saksi dalam menyaksikan perubahan tersebut.

Hilangnya Kendali dan Kepompong Tak Berjiwa: Gambaran orang-orang pemilik senyum bunga yang tiba-tiba hilang kendali dan menjadi kepompong tak berjiwa menciptakan gambaran kekacauan dan kehilangan makna dalam masyarakat. Hal ini dapat diartikan sebagai perubahan drastis yang terjadi tanpa pemberitahuan, menciptakan suasana kebingungan dan kekosongan.

Tarian Iblis dan Linggis: Penyebutan tarian iblis dan linggis memberikan sentuhan simbolisme yang kuat. Tarian iblis menciptakan citra kegelapan dan kejahatan yang merayap di tengah-tengah masyarakat. Linggis, sebagai simbol kekerasan dan kehancuran, menambahkan dimensi kekejaman yang melibatkan para kawula.

Perubahan Kota dan Karisma Mutiara: Deskripsi perubahan kota dan kehilangan karisma mutiara langka menggambarkan pergeseran nilai dan keindahan yang hilang di tengah-tengah modernisasi dan perkembangan. Mutiara langka dapat diartikan sebagai simbol keunikan dan keaslian yang terkikis oleh perubahan zaman.

Gagap Seorang Saksi Jaman: Puisi menciptakan gambaran seorang saksi jaman yang gagap dan meraba dalam kegelapan. Ini bisa diartikan sebagai peran saksi yang terhuyung-huyung dalam mencari pemahaman terhadap perubahan dan kegelapan yang terjadi di sekelilingnya.

Galau, Resah, dan Harapan yang Sekarat: Puisi merangkum berbagai perasaan seperti galau, resah, dan harapan yang sekarat. Hal ini menciptakan nuansa kebingungan dan kecemasan di tengah-tengah perubahan yang tidak terduga. Doa yang terlempar di altar dan zikir kemibir di subuh getir menambahkan dimensi spiritual dalam mencari makna di tengah kegelapan.

Pemerkosa dan Korban: Penyebutan pemerkosa dan korban menggambarkan kekejaman dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Ini bisa menjadi representasi dari ketidaksetaraan dan penindasan yang dialami oleh kelompok tertentu.

Jaman di Tikungan: Penutup puisi menyampaikan bahwa jaman telah sampai di tikungan. Ini menciptakan gambaran bahwa perubahan dan ketidakpastian terus menghadang di setiap tikungan kehidupan.

Puisi "Di Tikungan" karya Diah Hadaning mengajak pembaca untuk merenungkan perubahan sosial dan spiritual dalam masyarakat. Dengan menggunakan bahasa yang kaya simbolisme, puisi ini membangkitkan pemikiran tentang peran individu dalam menyaksikan dan merespons perubahan yang terjadi di sekitar mereka.

Puisi: Di Tikungan
Puisi: Di Tikungan
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.