Puisi: Dongeng Marsinah (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi "Dongeng Marsinah" karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan kisah tragis seorang buruh pabrik arloji yang bernama Marsinah.
Dongeng Marsinah (1)


Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan hati-hati.

Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
"kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi."


Dongeng Marsinah (2)


Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
"Ia suka berpikir," kata Siapa,
"itu sangat berbahaya."

Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
"Ia tahu hakikat waktu," kata Siapa,
"dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu."


Dongeng Marsinah (3)


Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.

Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.


Dongeng Marsinah (4)


Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:

Marsinah diseret
dan dicampakkan -
sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?


Dongeng Marsinah (5)


"Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi."

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)

sengsara betul hidup di sana
jika suka berpikir
jika suka memasak kata

apa sebaiknya kita menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)

"Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana."

(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)


Dongeng Marsinah (6)


Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.

Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.

1993-1996

Sumber: Ayat-Ayat Api (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Dongeng Marsinah" karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan kisah tragis seorang buruh pabrik arloji yang bernama Marsinah. Melalui lapisan-lapisan dongeng, penyair menyampaikan pesan tentang kemanusiaan, penderitaan, dan arti hidup.

Dongeng Marsinah (1) Presisi Hidup Sejati: Puisi dimulai dengan gambaran Marsinah sebagai buruh pabrik arloji yang menjalankan tugasnya dengan presisi dan cermat. Marsinah digambarkan sebagai arloji sejati yang mengukur waktu dengan ketelitian. Pesan di balik bait-bait ini adalah pentingnya menjalani hidup dengan tanggung jawab dan presisi.

Dongeng Marsinah (2) Kekuatan Kata dan Keterbatasan Bersenjata: Penyair menyoroti kekuatan kata Marsinah dan bagaimana keterbatasan senjata fisik tidak mampu menandinginya. Melalui putaran jarum arloji, Marsinah menciptakan kekekalan yang tidak bisa dihancurkan oleh kekerasan. Kata-kata dianggap berbahaya, dan itu menyoroti kekuatan ide dan pemikiran.

Dongeng Marsinah (3) Peristiwa Kekejaman dan Keheningan: Puisi mencatat kekejaman yang menimpa Marsinah pada suatu hari yang tidak baik. Ia disiksa dan disekap tanpa belas kasihan. Keheningan dalam puisi menciptakan nuansa tragis, menyoroti ketidakadilan dan kekejaman yang dihadapi Marsinah.

Dongeng Marsinah (4) Kematian dan Pertanyaan Filosofis: Kisah mengenai kematian Marsinah membawa pembaca ke refleksi filosofis tentang hakikat kekejaman, keserakahan, dan hakikat kemanusiaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di akhir puisi menggambarkan kebingungan dan pemberontakan terhadap kekejaman serta ketidakadilan.

Dongeng Marsinah (5) Penderitaan dan Harapan: Marsinah menyampaikan identitasnya, menekankan sengsara hidupnya dan berharap untuk tidak diusir lagi ke dunia atau dikirim ke neraka. Penderitaannya diungkapkan melalui kata-kata yang menggugah simpati, dan harapannya menunjukkan kerinduannya terhadap kedamaian dan keadilan.

Dongeng Marsinah (6) Arloji Sejati dalam Perjalanan Hidup: Penyair mengakhiri puisi dengan menyatakan bahwa Marsinah adalah arloji sejati yang melekat di pergelangan tangan kita. Simbolisme arloji menciptakan gambaran tentang keabadian, dan melihat detak-detik Marsinah setiap hari mengajarkan makna hidup dan presisi dalam perjalanan waktu.

Bahasa yang Simbolis dan Puitis: Sapardi Djoko Damono menggunakan bahasa yang simbolis dan puitis untuk menggambarkan perjalanan hidup Marsinah. Kata-kata dipilih dengan hati-hati untuk menciptakan nuansa emosional dan mengundang pembaca untuk merenung.

Puisi "Dongeng Marsinah" menggambarkan kemanusiaan dalam menghadapi kekejaman dan penderitaan. Puisi ini menyoroti perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekuatan ide sebagai sarana untuk mengatasi kekejaman fisik. Melalui cerita Marsinah, penyair membawa pembaca ke dalam refleksi filosofis tentang arti hidup, keadilan, dan ketidakadilan yang terjadi di dunia.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Dongeng Marsinah
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.