Puisi: Rerasan Pesisiran (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Rerasan Pesisiran" menghadirkan citra pesisir yang penuh warna, dari keindahan alam hingga kebijaksanaan dan kearifan lokal. Diah Hadaning ...
Rerasan Pesisiran


Delapan windu angka jadi guguran bunga
ditebar angin tenggara pengunci Tanya
laut pun tak tanya akan ombaknya
ombak pun tak tanya akan deburnya
orang-orang pesisir diam-diam hitung musim
gumam tembang pesisiran
tak lagi cemasi kampung tepi laut
tempat angan perempuan tersangkut
karena rembulan dan mentari telan jabat cahaya
tak lagi cemasi pagi jelang upacara
karena cakrawala dan kening telah menyatu
seiring tembang syahdu.

Dalam jiwa hadir hari keramat
dalam sukma hadir hari bertobat
orang-orang dengar suara genta
tak lagi raung-raung tangis purba
tak lagi keluh kesah nafas terengah
semua telah di ujung langkah
semua telah di batas waktu
saatnya Sabdopalon dan Noyogenggong
hadir kembali menagih janji
seiring munculnya tanda-tanda alam
gunung-gunung meletus
alam murka banjir melanda
huru-hara di mana-mana
lalu teduh tenang
tanah air damai raya.


Cimanggis, September 2004

Analisis Puisi:
Puisi "Rerasan Pesisiran" karya Diah Hadaning menggambarkan kehidupan dan kekayaan budaya di pesisir. Melalui bahasa yang penuh warna dan imajinatif, penyair menyampaikan pesan yang mendalam tentang kehidupan masyarakat pesisir.

Estetika Alam Pesisiran: Puisi ini dibuka dengan gambaran angka delapan windu yang jatuh sebagai guguran bunga. Angka delapan windu mewakili perjalanan waktu yang panjang, sementara guguran bunga menciptakan citra estetika alam yang kaya dan mempesona. Puisi ini membangun atmosfer yang penuh keindahan dan kemegahan alam pesisiran.

Interaksi Manusia dan Alam: Penyair menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam pesisiran. Meskipun alam bergerak dan berubah, masyarakat pesisir tetap tenang dan menerima setiap perubahan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pesisir dianggap sebagai tempat yang penuh rahasia dan keajaiban alam yang dihormati oleh penduduknya.

Pemberdayaan Budaya Lokal: Tembang pesisiran menjadi pengikat masyarakat dengan tradisi dan budaya mereka. Dengan gumam tembang pesisiran, masyarakat tidak hanya menghitung musim, tetapi juga merayakan kekayaan budaya mereka. Puisi ini menciptakan gambaran tentang masyarakat pesisir yang memahami dan menghargai siklus alam.

Perubahan dalam Kehidupan Pesisir: Meskipun memegang erat tradisi dan tembang pesisiran, puisi ini juga menyoroti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pesisir. Seiring waktu, kehidupan pesisir telah mengalami transformasi, dan pemahaman mereka terhadap alam dan ritual-ritualnya telah bergeser.

Momen Keramat dan Waktu Bertobat: Puisi menciptakan suasana keramat dan spiritual saat masyarakat merayakan hari-hari penting dalam kehidupan mereka. Hari keramat dan hari bertobat diresapi dengan makna mendalam, dan adanya suara genta menggambarkan panggilan rohaniah yang khusyuk.

Cerminan Alam dalam Peristiwa Sosial: Puisi ini menyajikan gambaran alam sebagai cerminan peristiwa sosial dan kehidupan manusia. Letusan gunung, banjir, huru-hara, dan kedamaian tanah air menjadi simbol perjalanan masyarakat pesisir dalam menghadapi tantangan dan kejadian dalam sejarahnya.

Puisi "Rerasan Pesisiran" menghadirkan citra pesisir yang penuh warna, dari keindahan alam hingga kebijaksanaan dan kearifan lokal. Diah Hadaning dengan mahir menggambarkan hubungan erat antara manusia dan alam, serta bagaimana kehidupan pesisir mencerminkan perubahan dan keabadian dalam waktu. Puisi ini tidak hanya memberikan wawasan tentang kehidupan pesisir, tetapi juga merayakan kekayaan budaya dan tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat setempat.

"Puisi: Rerasan Pesisiran (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Rerasan Pesisiran
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.