Puisi: Mudik (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Mudik" menggambarkan kehidupan keluarga dan momen-momen yang bernilai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kecerdasan bahasa dan ....
Mudik


Mei tahun ini kusempatkan singgah ke rumah.
Seperti pesan ayah: "Nenek rindu kamu, pulanglah!"

Waktu kadang begitu simpel dan sederhana:

Ibu sedang memasang senja di jendela.
Kakek sedang menggelar hujan di beranda.
Ayah sedang menjemputku entah di stasiun mana.
Siapa di kamar mandi?
Terdengar riuh anak-anak sedang bernyanyi.

Nenek sedang meninggal dunia.
Tubuhnya terbaring damai di ruang doa,
ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya.
"Hei, bajingan kita pulang!" seru boneka singa
yang tetap tampak perkasa, dan menggigil saja ia
saat kubelai-belai rambutnya.

Ayah belum juga datang, sementara taksi
yang menjemputku sudah menunggu di depan pintu.
Selamat jalan nek, selamat tinggal semuanya.
Baik-baik saja di rumah. Salam untuk bapak tercinta.

Di jalan menuju stasiun kulihat ayahanda
sedang celingak-celinguk di dalam becak, wajahnya
tampak lebih tua; becak melaju dengan sangat tergesa.
Dari jendela taksi aku melambai ke ayah,
sekali kukecup telapak tanganku, kulambaikan;
ia pun mengecup tangannya lalu melambai ke aku
sambil berpesan hati-hati di jalan ya.

Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh dari mataku.
"Almarhumah nenekmu kemarin masih sempat
menumpang taksi ini," ujar pak sopir yang pendiam itu,
yang ternyata bekas guruku.


2001

Sumber: Baju Bulan (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Mudik" karya Joko Pinurbo adalah kisah yang penuh dengan kehidupan, kesederhanaan, dan kehangatan keluarga. Penyair berhasil menciptakan gambaran yang indah tentang momen mudik yang sebenarnya penuh warna dan rasa.

Keindahan Kesederhanaan Hidup: Puisi ini membawa pembaca ke dalam kehidupan sehari-hari yang sederhana, namun penuh dengan keindahan. Gambaran seperti "Ibu sedang memasang senja di jendela" dan "Kakek sedang menggelar hujan di beranda" menciptakan atmosfer yang nyaman dan akrab.

Kontras Waktu dan Kehidupan: Penyair menggunakan kontras antara momen kecil dalam hidup sehari-hari dan momen besar seperti kepergian nenek. Sederetan gambaran tentang kegiatan keluarga seperti "Siapa di kamar mandi? Terdengar riuh anak-anak sedang bernyanyi" memberikan kehangatan, sementara pengungkapan tentang kematian nenek memberikan dimensi emosional yang mendalam.

Simbolisme Boneka dan Kenangan: Boneka-boneka lucu yang menjadi teman nenek di ruang doa membawa nuansa kehangatan dan kesenangan. Meskipun nenek telah meninggal, kehadiran boneka-boneka tersebut menciptakan gambaran akan kenangan dan kehidupan yang tetap hidup di dalam ingatan keluarga.

Perasaan Kehilangan dan Kepergian: Penggunaan bahasa yang sederhana tetapi kuat dalam baris "Selamat jalan nek, selamat tinggal semuanya" menciptakan rasa kehilangan yang mendalam. Puisi ini menangkap perasaan perpisahan dan kepergian dengan kesederhanaan yang tulus.

Waktu yang Meleleh: Penyair menggunakan metafora butiran waktu yang meleleh dari mata sebagai ungkapan perasaan yang mendalam. Ini menciptakan gambaran akan momen-momen yang berharga dan bagaimana waktu berlalu begitu cepat.

Puisi "Mudik" adalah sebuah karya yang menggambarkan kehidupan keluarga dan momen-momen yang bernilai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kecerdasan bahasa dan penggambaran yang kaya, penyair berhasil menyampaikan perasaan kehilangan, kehangatan keluarga, dan makna waktu yang melewatkan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan keindahan dalam kesederhanaan hidup dan pentingnya menghargai setiap momen bersama keluarga.

Puisi Mudik
Puisi: Mudik
Karya: Joko Pinurbo
© Sepenuhnya. All rights reserved.