Puisi: Penjual Bakso (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Penjual Bakso" menyoroti keadaan sosial, keseharian, dan mungkin ketidakadilan dalam sebuah narasi yang sederhana.
Penjual Bakso

Hujan-hujan begini, penjual bakso
dan anaknya lewat depan pintu rumahku.
Ting ting ting. Seperti suara mangkok
dan piring peninggalan ibuku.

Berulang kali ting ting ting, tak ada
yang keluar membeli bakso. Tak ada
peronda duduk-duduk di gardu.
Semua sedang sibuk menghangatkan waktu.

Aku tak ingin makan bakso, tapi tak apalah
iseng-iseng beli bakso. Aku bergegas
mengejar tukang bakso ke gardu ronda.
Bakso! Terlambat. Penjual bakso
dan anaknya sedang gigih makan bakso.

Air mata penjual bakso menetes
ke mangkok bakso. Anak penjual bakso
tersengal-sengal, terlalu banyak menelan bakso.
Kata penjual bakso kepada anaknya,
"Ayo habiskan bakso kita, Plato. Kasihan ibumu."

Mereka yang makan bakso, aku yang muntah bakso.

2004

Sumber: Baju Bulan (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Penjual Bakso" menggambarkan suatu gambaran yang sederhana namun dalam tentang kehidupan sehari-hari dan mengandung elemen ironi yang kuat. Puisi ini menyoroti keadaan sosial, keseharian, dan mungkin ketidakadilan dalam sebuah narasi yang sederhana.

Representasi Kehidupan Sehari-hari: Penyair menggambarkan suasana yang umum terjadi di sekitar kita: penjual bakso yang berjalan melewati rumah dan mencoba menjual baksonya di tengah hujan. Ketika penjual bakso bersama anaknya lewat, tak ada yang membeli, karena orang-orang terlalu sibuk dengan rutinitas mereka.

Ironi Keseharian: Puisi ini menggunakan ironi yang kuat dalam cerita yang disampaikan. Ketika pembeli akhirnya muncul—pembaca—penjual bakso dan anaknya sedang makan bakso mereka sendiri. Ironi terletak pada fakta bahwa penjual dan anaknya tidak berhasil menjual bakso mereka, namun mereka malah berakhir dengan memakannya sendiri.

Kepedihan dan Kekesalahan: Kehadiran air mata penjual bakso ke mangkok bakso dan anaknya yang terlalu banyak makan bakso mengekspresikan kesedihan dan kekecewaan. Penjual bakso bahkan menekankan kepada anaknya untuk menyelesaikan bakso tersebut dengan mengatakan, "Ayo habiskan bakso kita, Plato. Kasihan ibumu."

Ketidakadilan dan Realitas yang Kelam: Puisi ini menampilkan realitas yang kelam, di mana keadaan sehari-hari mungkin tak selalu adil. Ada ketidakadilan dan ironi yang menyentuh hati—suatu cerminan kehidupan yang mungkin terlupakan atau terabaikan oleh banyak orang.

Puisi "Penjual Bakso" adalah sebuah gambaran kehidupan sehari-hari yang sederhana namun penuh makna. Melalui kejadian yang mungkin biasa-biasa saja, penyair berhasil menyoroti ironi, kekecewaan, dan ketidakadilan yang mungkin terjadi di tengah kesibukan kehidupan sehari-hari.

"Puisi: Penjual Bakso (Karya Joko Pinurbo)"
Puisi: Penjual Bakso
Karya: Joko Pinurbo
© Sepenuhnya. All rights reserved.