Puisi: Stasiun Tugu (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Stasiun Tugu" karya Taufiq Ismail menghadirkan gambaran atmosfer dan perasaan rakyat di masa perang kemerdekaan Indonesia.
Stasiun Tugu


Tahun empat puluh tujuh, suatu malam di bulan Mei
Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan

Keleneng andong terputus di jalan berlinangan
Suram ruang stasiun berada dan tempat menunggu
Truk menunggu dan laskar berlagu-lagu perjuangan
Di Tugu seorang ibu menunggu, 2 anak dipangku

Berhentilah waktu di stasiun Tugu, malam ini
Di suatu malam yang renyai, tahun empat puluh tujuh
Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan
Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh

Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Anak perempuan itu 2 tahun, melengkap dalam pangkuan
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu stasiun
Anaknya masih menyanyi “Satu Tujuh Delapan Tahun”

Udara telah larut ketika tanda naik pelan-pelan
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjaga anaknya yang kantuk dalam lena
Berkata : lambaikan tanganmu dan panggillah Bapak

Wahai ibu muda, seharian atap-atap yang kota untukmu berbasah
Karena kelaziman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh republik menunduhkan kepala, nestapa dan resah
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.


1963

Sumber: Sajak Ladang Jagung (1973)

Analisis Puisi:
Puisi "Stasiun Tugu" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya sastra yang menghadirkan gambaran atmosfer dan perasaan rakyat di masa perang kemerdekaan Indonesia.

Latar Belakang Sejarah: Puisi ini menciptakan latar belakang sejarah yang kuat dengan menggambarkan situasi di Jakarta selama masa perang kemerdekaan Indonesia. Tahun 1947 adalah masa konflik yang intens antara pejuang kemerdekaan Indonesia dan penjajah.

Gambaran Stasiun Tugu: Stasiun Tugu adalah tempat utama dalam puisi ini. Stasiun ini digambarkan sebagai tempat yang ramai dan menderai dengan aktivitas penjemputan kereta yang membawa para pejuang kemerdekaan yang gugur. Stasiun ini menjadi simbol harapan, penantian, dan juga kedukaan.

Gambaran Cuaca: Cuaca menjadi elemen penting dalam puisi ini. Hujan yang renyai menggambarkan suasana yang suram dan sedih. Cuaca hujan menciptakan perasaan yang kontras dengan bulan Mei yang seharusnya cerah, menciptakan ketidakpastian dan ketegangan.

Kisah Keluarga: Puisi ini menciptakan kisah keluarga kecil yang menunggu kepulangan seorang ayah. Seorang ibu dengan dua anaknya menunggu di stasiun dengan harapan dan rasa cemas. Ini menciptakan elemen emosi yang kuat dalam puisi.

Unsur Perang Kemerdekaan: Puisi ini merujuk pada perang kemerdekaan Indonesia dengan menyebutkan bahwa atap-atap kota basah karena kelaziman militer yang terjadi di Klender. Ini menciptakan latar belakang konflik yang ada di kota.

Pesannya tentang Perjuangan: Puisi ini mengekspresikan rasa hormat terhadap perjuangan dan pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang gugur. Stasiun Tugu menjadi tempat terakhir untuk menghormati mereka, dan suasana di stasiun menciptakan rasa sakral dan khidmat.

Simbolisme: Anak perempuan yang menyanyi "Satu Tujuh Delapan Tahun" menciptakan simbolisme tentang perjuangan dan harapan akan kemerdekaan. Anak-anak adalah simbol masa depan dan harapan bagi Indonesia yang merdeka.

Puisi "Stasiun Tugu" menghadirkan gambaran yang kuat tentang situasi Jakarta selama masa perang kemerdekaan Indonesia. Puisi ini menciptakan latar belakang yang kaya dengan elemen sejarah, cuaca, dan emosi. Ini adalah penghormatan terhadap perjuangan para pejuang kemerdekaan dan menyoroti peran keluarga dalam mempertahankan harapan dalam situasi yang sulit.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Stasiun Tugu
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.