Puisi: Seminar Puisi di Selat Sunda (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Seminar Puisi di Selat Sunda" penuh dengan gambaran dan pertanyaan yang merangsang pikiran pembaca. Dengan menggabungkan sejarah, puisi, dan ..
Seminar Puisi di Selat Sunda
(Untuk Goenawan Mohamad)


Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok
 yang hangus di permukaannya. Kita makan bersama.
 
Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah 
revolusi yang berganti kaki, di atas sebuah kapal
 
perang yang diparkir di Selat Sunda. Sebuah
 
perundingan untuk menjemput diri sendiri: Kaki-kaki
 
kanan buntung - kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu,
 
atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau
 
duduk atau berdiri. Bau belerang dari punggung
 
krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata
 
yang menggerutu.

Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan
 berteriak: musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga
 
sudah ada di dalam pagar. Sebuah republik yang
 
terbayang di pintu belakang. Seorang lelaki di pintu
 
kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau
 
berjalan masuk. Hilir-mudik para peneliti Indonesia
 
yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang
 
lelah. Sebuah bank di antara tentara-tentara
 
perdamaian. Aku bersamamu, dalam satu mobil
 
tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap
 
tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi,
 
di pangkuan seorang perempuan.

“Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian
 seorang ibu.”

Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di
 depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat
 
ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk
 
membungkam selogan. Seorang Sukarnois yang me
nyimpan kartu pos patung liberty di saku
 
mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard
 
Cohen yang parau: Dance me to the end of love.
 
Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di
 
antara korek api dan badai sebuah pesta. Seorang
 
lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah
 
restoran. “Aku melangkah dari sebuah koran lokal, 
sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi
 3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara
 
gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarem.”

Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah
 pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti 
menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah,
 
Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu
 
dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali 
di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula
 membenamkan akal sehat ke dalam keuangan
 
negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah
 
aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua
 
telah menjadi gila di tangan suamimu. Kekuasaan
 
telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran
 
kita. Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan
 
bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri
 
yang masih tertidur di sebuah kereta.

Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang
 penjual air bersih di sebuah kantor majalah. Seorang
 
wartawan yang membidik dengan kata. Sebuah
 
kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jen
dela kaca. Sebuah kantor majalah yang
 
kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang
 
dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan
 
sebuah bangsa. Jalan gula yang membuat jalur kereta
 
dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki itu, bayangannya
 
di luar dan bayangannya di dalam. Bau tembakau
 
mengubah kenangan tentang mantel yang dikena
kannya, antara warna tanah dan lebih kelam lagi dari
 
warna pasir. Warna yang mengecat sejarah kembali
 
ke warna yang sama. Bau tembakau yang menggeng
gam kesedihan dalam sebuah lubang pentilasi.

“Apakah aku telah berdurhaka padamu, ibu, agar
 kau tidak lagi melahirkan seorang pembunuh.”

Udara AC jam 2 malam mengingatkannya tentang
 sebuah hutan kata-kata. Sebuah republik di lantai 
dua, bukan? Dan pertengkaran tentang di mana letak
 
tangga itu untuk naik ke lantai dua, antara musim
 
hujan dan perkebunan tebu yang sudah kita bakar.
 
Sebuah revolusi di antara kaki-kaki yang berganti.
 
Sebuah malam yang aku sisipkan dalam buku sejarah
 
puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di
 
halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum
 
gerhana. Cukup dengan 1000 slogan untuk
 
menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai
 
dua. Cahaya matahari pagi bertahan di atasnya. 
Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual nasi bungkus
 
di pasar rakyat. Apakah. Apakah materialisme sejarah
 
telah mati, dalam sebuah mata kuliah psikologi
 
tentang kelas sosial? Apakah. Apakah revolusi telah 
dihapus, dalam sebuah kapal dagang yang berlayar
 di jalur api? Menciptakan milisi jadi-jadian untuk
 
meruntuhkan daya hidup bersama. Apakah. Tentang.
 
Tetapi.

Lelaki itu berdiri di atas tangga dan turun ke lantai
 bawah. Dia seperti terus berjalan di tangga itu. Setiap
 
dia melangkah, anak-anak tangga itu seperti terus
 
bertambah, hampir lebih cepat dari langkahnya sendiri.
 
Langkah yang menciptakan anak-anak tangga
 
daripada melalui anak-anak tangga itu sendiri.
 
Apakah dia sedang turun - apakah dia sedang naik.
 
Menambahkan waktu dalam sebuah kereta pada
 
setiap langkahnya. Berikan aku sebuah kata, untuk
 
tidak mengatakan apapun tentang luka yang
 
tumbuh di halaman pertama sejarah kebangsaan.
 
Dan tentang diriku sendiri yang masih mencium bau
 
pikiran dari topi yang pernah kau kenakan. Pikiran
 
yang berusaha mengubah sebuah tangisan menjadi
 
gerimis, sore yang samar-samar di antara daun-daun
 
yang tumbuh merambat. Kebebasan yang dirawat
 
dalam sebuah perjudian antara Duryudana dan
 
Yudhistira.

Aku mengenal lelaki itu. Seseorang yang berjalan
 seperti dengan suara kertas koran yang diremas.
 
Suara antara puisi dan puing-puing kata. Dia seperti
 
sebuah pagi, di antara kerumunan malam yang 
samar-samar. Dia ingin menjemput kembali revolusi
 
itu, dengan sebuah opera tentang kesunyian.

“Kita telah melihat, seorang ibu membuat sebuah
 luka di mulut seekor harimau.” Untuk para sahabat, 
dan sebuah kata yang tidak bisa mengatakan: angin
 
yang mengirim garam, menjaga musim hujan di
 
Utara. Di sini.

Sumber: Museum Penghancur Dokumen (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Seminar Puisi di Selat Sunda" karya Afrizal Malna menciptakan suatu pemandangan kompleks dan reflektif tentang keadaan Indonesia, kehidupan sehari-hari, dan pemikiran tentang puisi.

Imaji dan Simbolisme: Puisi ini menggunakan gambaran dan simbolisme yang kuat, seperti "meja malam dari kayu," "revolusi yang berganti kaki," dan "bau belerang dari punggung Krakatau." Setiap elemen membawa konotasi sejarah dan revolusi, menciptakan atmosfer puitis yang kaya.

Revolusi dan Transformasi: Idea tentang revolusi dan perubahan menjadi tema sentral dalam puisi ini. Metafora "revolusi yang berganti kaki" mencerminkan perubahan yang terus menerus dalam sejarah Indonesia dan diidentifikasikan dengan langkah-langkah dan perundingan yang tak pasti.

Tentang Puisi dan Kreativitas: Puisi ini merenungkan peran puisi dalam konteks sejarah dan kehidupan sehari-hari. "Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan bersama bayangan sendiri" menunjukkan kekuatan kata-kata untuk membimbing dan meresapi kehidupan, bahkan dalam kegilaan zaman.

Masa Lalu dan Masa Kini: Dengan merujuk pada sejarah Indonesia, puisi ini menyatukan masa lalu dan masa kini. Pemberian kata "Caesonia" (kemungkinan merujuk kepada istri Caligula) dan pertanyaan tentang Karna menandakan hubungan antara mitologi, sejarah, dan kehidupan sehari-hari.

Dua Dimensi Keseharian: Puisi menyajikan dua dimensi keseharian: rutinitas pekerjaan seorang wartawan ("Seorang wartawan yang membidik dengan kata") dan momen pribadi yang menggugah emosi ("Seorang lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah restoran"). Ini menciptakan kontras yang menarik.

Kritik terhadap Materialisme dan Politik: Melalui referensi seperti "Cukup dengan 1000 slogan untuk menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai dua," puisi ini menggambarkan kritik terhadap materialisme dan politik yang mempengaruhi sejarah dan kehidupan sehari-hari.

Identitas Bangsa dan Perjalanan: Terdapat pertanyaan tentang identitas dan perjalanan bangsa: "Apakah. Apakah materialisme sejarah telah mati?" dan "Apakah. Apakah revolusi telah dihapus?" Ini menyoroti keraguan dan refleksi terhadap arah bangsa dan sejarahnya.

Kesimpulan yang Menggantung: Puisi ini mengakhiri dengan pertanyaan yang menggantung: "Di sini." Hal ini menciptakan rasa ketidakpastian dan refleksi yang terus menerus, menuntun pembaca untuk merenung tentang makna puisi dan kehidupan.

Puisi "Seminar Puisi di Selat Sunda" adalah sebuah karya puisi yang kompleks, penuh dengan gambaran dan pertanyaan yang merangsang pikiran pembaca. Dengan menggabungkan sejarah, puisi, dan kehidupan sehari-hari, Afrizal Malna menciptakan suatu karya yang membangkitkan pemikiran dan mendalam.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Seminar Puisi di Selat Sunda
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.