Lebah Ratu
Ribuan peminang mengepung ia setiap waktu. Tak mampu
menyigi wajah mereka satu demi satu, ia bimbang apakah harus
memuaskan atau membunuh mereka. Bila ia merasa lapar,
mereka jatuh birahi kepadanya; bila ia menghalau mereka, justru
mereka kian terhisap olehnya.
Gaunnya yang tampak selalu meluas seperti telaga itu tak
pernah bisa menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan panggulnya
kian berulir dan berkilau-kilau. “Wahai junjungan, kami adalah
serdadu dan penari terpilih dari segala penjuru,” para peminang
itu berseru. Padahal mereka sekadar peminta-minta yang terlalu
angkuh untuk menadahkan tangan.
Di sekitarnya terdapat juga ribuan dayang yang selalu memaku
gaunnya ke arah matahari. Para peminang itu tak tahu. Bagi
mereka, dedayang itu seperti bayangan mereka belaka: ben
tangan putih-kelabu yang membuat tubuh batu-sabak mereka
tak lagi terlalu hitam muram.
Ia selalu hendak melepaskan diri dari ruang segi enam yang
serupa dengan reruang di sekelilingnya. Tapi apa beda di sini
dan di sana, di dalam dan di luar? Ia merasa dedayang itu selalu
memasuki wujudnya. Ia percaya sudah bertahun-tahun ia men
coba bertahan di singgasana kabut itu, meski tiba-tiba ia merasa
baru kemarin ia membinasakan ibunya (atau kembarannya, ia
tak yakin).
Berkatalah para dayang itu, “Engkau tak pernah membunuh,
wahai junjungan. Yang gugur adalah bayang-bayangmu sendiri,
yang mencoba lebih nyata ketimbang citramu. Bayang-bayang
yang hendak menaklukkan kami. Kaulah wujud yang meliputi
seluruh kami, bahkan seluruh seterumu. Kaulah yang terindah
sebab kaumuliakan kami.”
Bila ia berdandan, ia membakar gaunnya, agar para peminang
itu muak kepadanya. Tubuhnya ikut hangus, namun para
dayang itu tak henti menjilat-jilat kepalanya, berusaha mencekuh
jantungnya; mereka menebarkan getah emasnya ke seluruh
buana, sehingga lebih berlimpah lagi peminang yang datang,
yang baru saja selamat dari sergapan air bah darah.
“Masukkah. Lekaslah. Sebelum kalian habis terbakar,” ia berkata
kepada kaum jantan yang dahaga itu. Menghunus senjata atau
menari, para peminang itu tak yakin apakah mereka menatap
ke cermin atau memasuki farjinya yang bersinau-sinau. Di tero
wongan hijau-biru, akhirnya mereka berkeping-keping terben
tur pada tiang api atau dinding pasir seraya menguar, “Kamilah
milikmu, wahai junjungan, sebab kami tak mampu mempeso
namu atau membunuhmu.”
Ia pun tahu bahwa selama ini ia telah keliru. Ternyatalah mereka
bukan kekasihnya. Mereka cuma kantung mani yang mengorban
kan diri (atau harus disesapnya terpaksa dan tergesa-gesa) agar
ia mampu menghadiahkan ribuan telur yang berisi gambaran
jantungnya, alih-alih jantungnya sendiri, kepada para dayang
yang gemar mengaji itu. Dan agar ia mulai belajar menghapus
wajahnya sendiri.
“Maafkan aku,” ia berkata kepada kaum jenazah yang teramat
lega itu. “Aku akan menyimpan kalian dalam museum sebab
kalian telah menari dan tikam-menikam demi aku. Akan kuingat
selalu bahwa setiap kali aku hendak mematikanmu, aku jatuh
birahi; bahwa setiap kali kalian memasuki aku, mendekatlah
aku kepada maut. Aku cemburu kepadamu, wahai pencinta buta,
maka akan kulahirkan lagi ribuan kau yang lain.”
Ia kecewa sebab tak tahu apakah satu atau seribu yang dalam
sekarat sungguh-sungguh memandang wajahnya. Tapi sejak itu
ia tahu ranahnya meluas dan meluas lagi. “Inilah koloni di mana
kami makan roti terbaik di dunia. Roti yang terasa seperti daging
matahari,” kata kaum serdadu yang tersisa, yang tak tahu lagi
bagaimana mengasah zakar dan menyaru sebagai penari.
Seperti telur-telur yang keras kepala itu, ada yang selalu menetes
dari dalam dirinya, seperti bayangannya sendiri, salinannya yang
sempurna, yang membesar terus oleh bening gaunnya, oleh
hujan mani para peminang berikutnya. Ia tak tahu apa bedanya
kuburan dan museum, sebab ia terlalu bahagia. Ia bimbang apa
kah kakinya terbenam ke samudra tepung sari atau kaki langit
ketika ia telanjang sepenuhnya.
Tapi ia tahu bahwa ruangnya tak lagi segi enam. Para dayang
sepuh itu membangun ribuan ruang lain dari cermin yang lebih
cemerlang, sebab mereka tak mampu lagi membedakan ia
dengan tiruannya (atau pantulannya, mereka tak yakin) yang
kian berlipat ganda. Sampai suatu hari para pedandan yang
mulai remaja itu bertarung satu sama lain, dan tiba-tiba ia ber
ada di antara mereka, bertahan, sampai salah satu, yang bergaun
seluas telaga, yang berpanggul ulir, yang bertangan kidal seperti
ia, berseru kepadanya, “Aku akan membunuhmu, Ibu.”
Dan ia berkata, untuk terakhir kali, “Jantan atau betina, mereka
akan mengawetkanmu. Serdadu atau penari, mereka akan meng
hisapmu. Dayang-dayang atau mata-mata, mereka akan membu
takanmu. Roti atau koloni, itu akan menghapus namamu. Istana
atau museum atau mausoleum, semuanya telanjur segi enam.
Kau telah lama mengimpikan aku. Selamat datang, wahai
kembaran. Selamat jalan, wahai junjungan.”
2007
Karya: Nirwan Dewanto
|| Jika berkenan? Tolong Bagikan ||
|| Jika kurang berkenan? Tolong Komentar ||
|| Jika ingin pergi? Tolong kembali lagi ||
Post A Comment:
0 comments: