Puisi: Guru yang Selalu Menyimpan Palu (Karya Acep Syahril)

Puisi ini memberikan gambaran kritis dan satir terhadap figur guru yang memiliki kekuasaan, namun tindak tanduknya kontroversial dan tidak sesuai ...
Guru yang Selalu Menyimpan Palu

semua orang tau guru kami bukan seorang tukang kayu meski setiap
saat hidupnya tak lepas dari palu kadang berkali-kali dia pukulkan palunya
ke meja dengan wajah hitam selain sering kami pergoki mengenakan lipstik
dan deodoran dengan penampilan menawan di hadapan para pesakitan
sehingga tak jarang guru lalai sampai lupa memukul tangannya sendiri
ketika beliau terbuai oleh imajinasi-nya dan melayang-layang ke suatu
tempat atau tertidur lelap di lajunya veyron fiat dan di mercedes benz
dengan rumah mewah yang sebentar lagi dia tempati bersama anak
istrinya semua orang tau guru kami bukan seorang tukang kayu tapi
di otak sebelah kirinya ada sebuah kantung yang dia siapkan untuk
menyimpan palu serta memastikan kalau besok masih selalu ada jadwal
baginya untuk membebaskan para maling negara yang bisa mengakses
hidupnya atau membunuh waktu si miskin dengan menjatuhkan palu
di mejanya demi memperpanjang kepercayaan negara pada dirinya
semua orang tau guru kami bukan seorang tukang kayu oleh karena itu
beliau tak bisa membedakan mana kayu mana besi dan mana batu
demi Allah kami bersumpah tak mau sesat dan bejat seperti guru.

2011

Analisis Puisi:
Puisi "Guru yang Selalu Menyimpan Palu" karya Acep Syahril menghadirkan gambaran satir yang tajam terhadap figur guru yang seakan memiliki kekuasaan yang berlebihan.

Imej Guru yang Kontroversial: Puisi dibuka dengan deskripsi bahwa guru tersebut bukanlah seorang tukang kayu, namun hidupnya tak lepas dari palu. Gambaran ini memberikan nuansa kontroversial dan menimbulkan tanya, apa sebenarnya peran guru tersebut.

Pemakaian Lipstik dan Deodoran: Penyair menyelipkan elemen kecantikan dengan menyebutkan bahwa guru tersebut sering menggunakan lipstik dan deodoran. Ini menambah kontradiksi antara penampilan luarnya yang menawan dan perannya yang seharusnya serius sebagai pendidik.

Kesibukan dalam Dunia Fantasi: Guru digambarkan lalai dan terbuai oleh imajinasinya sendiri, bahkan sampai melupakan untuk memukul tangannya sendiri. Ini mungkin mencerminkan kenyataan bahwa pemimpin sering kali terlena oleh kekuasaan dan melupakan tanggung jawabnya.

Kantung di Otak untuk Menyimpan Palu: Guru memiliki "kantung" di otak sebelah kirinya untuk menyimpan palu. Ini dapat diartikan sebagai simbolis bahwa guru tersebut selalu siap untuk menggunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan hukuman atau sanksi.

Kritik terhadap Ketidakmampuan Mengenali Keadilan: Guru di dalam puisi disajikan sebagai sosok yang tak mampu membedakan "mana kayu mana besi dan mana batu." Ini bisa diartikan sebagai kritik terhadap kepemimpinan yang tidak mampu memahami kebutuhan dan perjuangan rakyat kecil.

Sumpah untuk Tidak Menjadi Seperti Guru: Puisi diakhiri dengan sumpah bahwa "kami bersumpah tak mau sesat dan bejat seperti guru." Ini menciptakan lapisan moralitas dan menegaskan penolakan terhadap kepemimpinan yang tidak adil dan korup.

Puisi ini memberikan gambaran kritis dan satir terhadap figur guru yang memiliki kekuasaan, namun tindak tanduknya kontroversial dan tidak sesuai dengan harapan. Penggunaan bahasa yang tajam dan nada kritik memberikan pemahaman bahwa puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang pentingnya kepemimpinan yang adil dan bertanggung jawab dalam memimpin masyarakat.

"Puisi: Guru yang Selalu Menyimpan Palu (Karya Acep Syahril)"
Puisi: Guru yang Selalu Menyimpan Palu
Karya: Acep Syahril
© Sepenuhnya. All rights reserved.