Puisi: Sajak Peperangan Abimanyu (Karya W.S. Rendra)

Puisi "Sajak Peperangan Abimanyu" karya W.S. Rendra menghadirkan gambaran perjuangan dan pengorbanan seorang kesatria yang tegar.
Sajak Peperangan Abimanyu
(Untuk putraku, Isaias Sadewa)


Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
Sang kesatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewajiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.

Ketika ibu-ibu meratap
dan mengurap rambut mereka dengan debu,
roh kesatria bersetubuh dengan cakrawala
untuk menanam benih
agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
dari zaman ke zaman.


Jakarta, 2 September 1977

Sumber: Potret Pembangunan dalam Puisi (1993)

Analisis Puisi:
Puisi Sajak Peperangan Abimanyu" karya W.S. Rendra menggambarkan perjuangan seorang kesatria yang tegar di tengah peperangan. Puisi ini mengangkat tema tentang pengorbanan, kesetiaan, dan arti sejati dari perjuangan.

Perjuangan dan Pengorbanan: Puisi ini berbicara tentang perjuangan dan pengorbanan seorang kesatria, yang dihadapkan pada kematian di tengah medan perang. Meskipun kematian mengancam, kesatria ini tetap berdiri dengan mata yang bercahaya, karena ia telah melunasi kewajiban dan kewajarannya sebagai seorang pejuang.

Rasa Damai dalam Kematian: Meskipun dalam kondisi luka-luka dan berdarah, hati kesatria tetap damai. Ia merasa puas dan lega karena telah menjalani perjuangan dan tugasnya dengan sepenuh hati. Pada saat akhir hidupnya, rasa damai ini menjadi penghiburan baginya.

Pertanyaan Kritis: Puisi ini juga mengajukan pertanyaan kritis terkait nasib masyarakat setelah kematian sang kesatria. Apakah penderitaan petani dan perempuan kampung akan berlanjut? Pertanyaan ini mencerminkan keprihatinan terhadap ketidakadilan sosial yang mungkin berlanjut setelah kematian kesatria.

Citra Alam: Dalam baris "Saat itu ia mendengar / nyanyian angin dan air yang turun dari gunung," penyair menggunakan citra alam untuk menunjukkan kedamaian yang dirasakan oleh kesatria di saat-saat terakhirnya. Alam menjadi bagian dari pengalaman spiritual kesatria yang mengalami kedamaian dalam kematian.

Perjuangan sebagai Penghayatan dan Cita-Cita: Puisi ini menegaskan bahwa perjuangan adalah penghayatan cita-cita dan rasa. Ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi juga pelunasan kesimpulan penghayatan. Perjuangan sejati melibatkan jiwa dan hati yang mendalam, bukan hanya kekerasan fisik semata.

Kesetiaan terhadap Rakyat: Pada bagian akhir puisi, kesatria dianggap sebagai lambang kesetiaan terhadap rakyat tertindas. Ia merasa perjuangannya akan mewariskan semangat dan inspirasi kepada generasi-generasi berikutnya untuk membela rakyat yang terpinggirkan.

Puisi W.S. Rendra
Puisi: Sajak Peperangan Abimanyu
Karya: W.S. Rendra

Biodata W.S. Rendra:
  • W.S. Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
  • W.S. Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 (pada usia 73 tahun) di Depok, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.