Puisi: Peci Putih yang Merindukan Sujudmu (Karya Kinanthi Anggraini)

Puisi "Peci Putih yang Merindukan Sujudmu" memberikan kesan bahwa dalam kesederhanaan sebuah peci, terkandung kekayaan makna yang mendalam dan ...
Peci Putih yang Merindukan Sujudmu
(Kepada Almarhum bapakku tercinta)

Sehelai benang emas melingkar di punggungku, tuan
berbalut lapisan warna putih semburat kecoklatan
sesekali kakiku basah oleh kucur air yang kau percikkan
melingkar erat di kepala, begitu caramu mengenakan

barangkali aku hanya berteman dengan ingatan
bersama untaian doa yang selalu kudengarkan
guratan dahi yang tertahan oleh sujud yang pelan
hingga kesabaran menahan amarah dan keinginan

aku adalah saksi dari air mata yang kerap berlinang 
saat sepertiga malam mulai menjelang
memastikan anak istrimu bermukim di jalan terang
sampai aku terjebak diantara kaki yang lalu-lalang
telapak telanjang bersanding bendera setengah tiang

aku ingat sekali, tuanku
keningmu berkerut saat menyikat tubuhku
bersama senyum syahdu, yang kini kurindu
tatkala bermunculan bercak tipis berdebu

kini gejolak semakin menawar untuk bersekutu
tatkala kabar tak jua kudengar lagi tentangmu
walau begitu, aku akan tetap berada di tempatku
bersanding di sebelah kiri, di pinggir sajadah biru

aku tak percaya kau setega itu, tuan
seumur hidupku tak pernah diabaikan demikian 
sampai paman tasbih perlahan menjelaskan
lama sudah bulirnya tak lagi tersentuh tangan
sedangkan bajumu tak kulihat lagi selama sepekan
baju bercorak tenun ikat yang biasa kau kenakan

aku merindumu, tuanku
menunggu tanpa tahu keberadaanmu.

Magetan, Agustus 2013

Sumber: Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018)

Analisis Puisi:
Puisi "Peci Putih yang Merindukan Sujudmu" karya Kinanthi Anggraini membawa pembaca dalam perjalanan melalui kenangan dan kesetiaan seorang peci putih yang menjadi saksi setia sujud dan pengabdian. Dengan penggunaan bahasa yang indah, puisi ini menggambarkan hubungan yang erat antara pemakai peci putih dan lambang keagamaan yang diwakilinya.

Imaji Peci Putih: Peci putih di dalam puisi menjadi simbol yang kaya akan makna. Sebagai atribut keagamaan, peci menjadi bagian yang mendalam dalam kenangan sang tuan. Sehelai benang emas, warna putih, dan kesetiaan peci menjadi gambaran yang menghidupkan nuansa spiritualitas.

Bentuk Kebhinekaan dalam Warna: Puisi menyoroti keberagaman dan harmoni dalam warna peci. Semburat kecoklatan pada peci putih mencerminkan keindahan keberagaman dan toleransi dalam kehidupan.

Kenangan dan Doa: Peci putih menjadi saksi bagi segala kenangan dan doa yang terukir di dalamnya. Melalui pemakaian peci, terjalinlah sejarah yang sarat makna dan spiritualitas, terutama dalam momen-momen sujud dan doa.

Kesetiaan dan Pengabdian: Peci putih tidak hanya sekadar atribut fisik, tetapi juga melambangkan kesetiaan dan pengabdian. Penggambaran pemakaian peci saat menyikat tubuh dan senyum syahdu menjadi cermin dari kesetiaan peci dalam mengikuti setiap gerak dan momen sang tuan.

Gejolak dan Kehilangan: Puisi menggambarkan gejolak dan kehilangan yang dirasakan peci putih. Kabar yang tidak jelas dan hilangnya pemakaian peci selama beberapa waktu menciptakan nuansa kegelisahan dan kerinduan.

Berkorban dan Berdiam: Peci putih bersedia berkorban dengan tetap berada di tempatnya meskipun tidak ada kabar dari sang tuan. Kehadirannya di pinggir sajadah biru menciptakan gambaran setia menanti dan berdiam dalam kesabaran.

Nostalgia dan Keindahan Hubungan: Puisi membangkitkan rasa nostalgia terhadap masa-masa indah saat peci putih dan sang tuan bersama. Bercak tipis berdebu pada tuanku menjadi lambang kebersamaan yang tak terlupakan.

Penyimpangan dan Keterpisahan: Peci putih merasakan penyimpangan ketika tak lagi mendengar kabar atau melihat pemakaian peci itu sendiri. Keberadaan yang mulai memudar menciptakan suasana penuh kekhawatiran dan kebingungan.

Kesetiaan dalam Keterasingan: Peci putih tetap setia meskipun sang tuan tidak hadir. Kesetiaan tersebut tercermin dari penjelasan paman tasbih tentang bulir yang tidak lagi tersentuh tangan dan kehilangan baju bercorak tenun ikat yang biasa dikenakan sang tuan.

Merindu dan Menunggu: Peci putih merindukan sang tuan dan menunggu tanpa tahu keberadaannya. Kesetiaan dan kerinduan tersebut menjadi titik fokus dalam menggambarkan hubungan antara peci putih dan sang tuan.

Puisi "Peci Putih yang Merindukan Sujudmu" menjadi sebuah puisi yang penuh dengan nuansa religiusitas, kebersamaan, dan kesetiaan. Melalui gambaran peci putih, penyair mengajak pembaca merenung tentang keindahan hubungan spiritual dan kesetiaan yang melampaui waktu. Puisi ini memberikan kesan bahwa dalam kesederhanaan sebuah peci, terkandung kekayaan makna yang mendalam dan menggugah hati.

Kinanthi Anggraini
Puisi: Peci Putih yang Merindukan Sujudmu
Karya: Kinanthi Anggraini

Biodata Kinanthi Anggraini:
    • Kinanthi Anggraini lahir pada tanggal 17 Januari 1989 di Magetan, Jawa Timur.
    • Karya-karya Kinanthi Anggraini pernah dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, antara lain Horison, Media Indonesia, Indopos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Basis, Sinar Harapan, Banjarmasin Post, Riau Pos, Lampung Post, Solopos, Bali Post, Suara Karya, Tanjungpinang Pos, Sumut Pos, Minggu Pagi, Bangka Pos, Majalah Sagang, Malang Post, Joglosemar, Potret, Kanal, Radar Banyuwangi, Radar Bojonegoro, Radar Bekasi, Radar Surabaya, Radar Banjarmasin, Rakyat Sumbar, Persada Sastra, Swara Nasional, Ogan Ilir Ekspres, Bangka Belitung Pos, Harian Haluan, Medan Bisnis, Koran Madura, Mata Banua, Metro Riau, Ekspresi, Pos Bali, Bong-Ang, Hayati, MPA, Puailiggoubat, Suara NTB, Cakrawala, Fajar Sumatera, Jurnal Masterpoem Indonesia, dan Duta Selaparang.
    • Puisi-puisi Kinanthi Anggraini terhimpun di dalam buku Mata Elang Biru (2014) dan Bunga-Bunga Bunuh Diri di Babylonia (2018). Karya-karyanya juga diterbitkan dalam cukup banyak buku antologi bersama.
    • Nama Kinanthi Anggraini tertulis dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017).
    © Sepenuhnya. All rights reserved.