Puisi: Cervantes (Karya Agus R. Sarjono)

Puisi "Cervantes" oleh Agus R. Sarjono menciptakan gambaran tentang peran kritik sosial dalam sastra, menggambarkan pemikiran kritis terhadap ....
Cervantes


Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra
menerjang kincir keramat hikayat bangsawan
dan raja-raja hingga porak-poranda
dan menjelma jadi gelak tawa

Di negeri-negeri yang jidatnya sempit
dan muram, tank, panser, dan penjara
tersedia bagi Don Quixote dan keledai sastra
yang menggoyang kebajikan mapan
bungkus mulia bagi jiwa-jiwa deksura.

Adakah kesatria gelak tawa berbahaya
bagi negara, serupa ular berbisa di belukar
mendesis merayap menyusun makar?
Dia yang bijaksana tahu tak ada
mahkota dimakzulkan oleh cerita
jika ke dalamnya penguasa sedia berkaca.

Keledai sastra yang dungu bestari
senantiasa menggergaji satu kaki singgasana
agar sang raja belajar bijaksana di atasnya.
Atau mengecat tembok istana
dengan warna ganjil tak biasa
biar angker kekuasaan sedikit belajar
menertawakan diri dan agak jenaka.

Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra
menerjang kincir keramat hikayat bangsawan
dan raja-raja hingga porak-poranda
dan menjelma jadi gelak tawa

Kisah sehari-hari dan orang biasa
sejak itu berhak juga menjelma cerita.


Sumber: Lumbung Perjumpaan (2011)

Analisis Puisi:
Puisi "Cervantes" karya Agus R. Sarjono menggambarkan pandangan tentang kekuasaan, kritik sosial, dan peran sastra dalam mengomentari masyarakat dan penguasa. Puisi ini mengambil inspirasi dari Miguel de Cervantes, penulis terkenal dari Spanyol yang menciptakan karakter Don Quixote, sebuah karya sastra klasik yang mengkritik norma-norma sosial dan idealisme yang berlebihan.

Pena Terhunus dan Keledai Sastra: Puisi ini menggunakan metafora "pena terhunus" untuk menggambarkan peran kritik sosial dalam sastra. "Keledai sastra" mewakili para penulis dan penyair yang memimpin perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi, sebagaimana dilakukan oleh tokoh Don Quixote dalam karya Cervantes.

Kincir Keramat Hikayat Bangsawan: Puisi ini menyiratkan bahwa sastra memiliki kemampuan untuk menggoyang struktur dan norma-norma kekuasaan. "Kincir keramat hikayat bangsawan dan raja-raja" mengacu pada narasi-narasi populer yang mendukung kekuasaan dan idealisme yang berlebihan. Keledai sastra dengan pena mereka menyerang kincir ini untuk meruntuhkan pandangan yang diromantisasi tentang penguasa.

Kesatria Gelak Tawa: Konsep "kesatria gelak tawa" mengacu pada karakter Don Quixote yang sering kali dipersepsikan sebagai tokoh kocak dan eksentrik, tetapi pada saat yang sama mengandung pesan kritis. Puisi ini menanyakan apakah kekuatan kritik sastra dapat dianggap berbahaya oleh penguasa yang takut akan perubahan dan pengeksposan.

Pembelajaran dan Refleksi Kekuasaan: Puisi ini menggambarkan bagaimana "keledai sastra" dapat menjadi agen perubahan dengan menggergaji singgasana kekuasaan atau mewarnai istana dengan cara yang aneh dan tak biasa. Ini mengajukan pertanyaan tentang perlunya penguasa untuk belajar dari kritik dan penghinaan, serta kemampuan sastra untuk mengajarkan kebijaksanaan melalui sindiran.

Kisah Sehari-hari dan Orang Biasa: Puisi ini mengakhiri dengan menekankan pentingnya kisah-kisah sehari-hari dan orang biasa dalam sastra. Ini mencerminkan penghargaan terhadap keberagaman pengalaman manusia dan pentingnya menciptakan narasi yang mencerminkan realitas masyarakat secara lebih akurat.

Puisi "Cervantes" oleh Agus R. Sarjono menciptakan gambaran tentang peran kritik sosial dalam sastra, menggambarkan pemikiran kritis terhadap kekuasaan, dan menyoroti kemampuan sastra untuk mengomentari dan merespon berbagai aspek masyarakat. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya sastra dalam membuka wawasan dan meruntuhkan mitos-mitos yang mendukung kekuasaan yang korup.

Agus R. Sarjono
Puisi: Cervantes
Karya: Agus R. Sarjono

Biodata Agus R. Sarjono:
  • Agus R. Sarjono lahir pada tanggal 27 Juli 1962 di Ban­dung, Jawa Barat, Indonesia.
  • Agus R. Sarjono aktif menulis puisi, esai, cerpen, kritik, dan drama. Ia juga dikenal sebagai editor dan penerjemah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.