Puisi: Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho" membawa pembaca pada perjalanan epik Cheng Ho yang melewati batasan waktu dan ruang.
Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho

Di tepi jalan raya Dongfeng Dongfu, aku bertanya pada sejuta sepeda
yang bergulir lalu, mereka sibuk mengukir nasib bersama
seraya mengepulkan anyaman debu.

Pada empat arah mata angin kubaca senarai 1000 juta manusia, tapi
telapak tanganku hanya mampu menyentuh permukaan
samudera 5000 tahun sejarahmu, lalu aku bertanya-jawab
dengan tembikar tua bertuliskan kaligrafi biru.

Di depan musium berderet bunga sembilan warna, cuaca menjelang
musim gugur tapi yang kau tawarkan senantiasa musim bunga,
dan kini kau putar balik arlojiku lima abad jangkanya.

Di kampung kelahiranmu, Kun Yang, aku terkenang pada klenteng
Sam Po Kong di Semarang, pada pelayaranmu ke Aceh
dan Palembang, lalu persinggahanmu di Malaka dan Singapura.

Angin bertiup mendaki bukitmu, merayap di antara dedaunan berangan
dan cemara berdaun jarum biru, mengantarkan dingin pada
leher jaketku, ketika aku terpaku berdiri di depan makam Haji
Ma ayahmu, dan Al-Fatihah basah di lidahku.

Kami peziarah diingatkan tentang seorang pelaut perkasa melalui kubur
ini, kubur ayahnya, namun di mana makam ibunya tak ada yang
memberiku berita.

Di tangannya tujuh pelayaran, disinggahinya tiga puluh pelabuhan dunia,
dijinakkannya badai samudera dengan awak kapalnya,
dialah 
laksamana yang menjelajah tapi tidak menjajah, 
dan disulamnya
benang hijau di atas layar sejarah.

Di atas bis Hino 20366 yang meluncur laju, aku masuki gerbang abad 15 dan
16 di negeriku, sauhmu Hanafi tapi terjangkar di pasir pantaiku
Syafi'i, kelopak mataku bagai anak kucing yang lama buta lama
terbuka,

Cheng Ho.

Dulu cuma sebuah nama dengan dua suku kata Cina terngiang di telinga
semasa kanak-kanakku di Semarang lama, dulu cuma gugusan
kaligrafi sebuah klenteng dengan barongsai gduk-gduk-ceng duk-
ceng duk-ceng yang bising dengan paduan warna merah dan kuning,
tapi kini betapa dalam gaung makna penafsirannya,

Cheng Ho.

Kun Ming, Yunnan, 26 Agustus 1994

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho" menciptakan epik perjalanan Cheng Ho, pelaut Cina terkenal, yang menjelajah samudra dan menorehkan jejaknya di berbagai pelosok dunia.

Setting dan Perjalanan Cheng Ho: Puisi ini dimulai dengan penggambaran jalanan dan sepeda di jalan raya Dongfeng Dongfu. Penggunaan setting ini membawa pembaca ke suasana jalanan di mana perjalanan Cheng Ho menjadi fokus. Rute perjalanan Cheng Ho melibatkan sejumlah pelabuhan dan kampung kelahirannya, seperti Kun Yang, Semarang, Aceh, Palembang, Malaka, dan Singapura.

Bunga Sembilan Warna: Metafora "bunga sembilan warna" menunjukkan keindahan dan keberagaman yang dihadirkan oleh perjalanan Cheng Ho. Meskipun cuaca menjelang musim gugur, Cheng Ho tetap membawa suasana musim bunga dalam kisahnya.

Makam Haji Ma dan Ayah Cheng Ho: Puisi merenung di depan makam Haji Ma, ayah Cheng Ho, sebagai penghormatan terhadap pelaut perkasa ini. Sentuhan Islami terlihat dari doa Al-Fatihah yang dibacakan di depan makam. Namun, puisi juga menyiratkan ketidakjelasan mengenai makam ibu Cheng Ho, menambah elemen misteri dalam narasi.

Pembacaan Sejarah: Puisi membawa pembaca ke abad ke-15 dan 16 dengan membawa pengalaman Cheng Ho dan menciptakan gambaran pengalaman sejarahnya. Penggunaan kata-kata seperti "laksamana yang menjelajah tapi tidak menjajah" menunjukkan karakter Cheng Ho yang mengutamakan eksplorasi dan perdamaian dalam perjalanan lautnya.

Identitas Cina Cheng Ho: Penggunaan bahasa dan metafora dari budaya Cina, seperti "kaligrafi biru" dan "barongsai gduk-gduk-ceng," menambahkan dimensi etnis dan budaya Cheng Ho dalam perjalanan sejarahnya.

Pencarian dan Penemuan Cheng Ho: Puisi mencerminkan perjalanan pencarian dan penemuan Cheng Ho, tidak hanya dalam hal geografi tetapi juga makna dan identitas. Melalui rute perjalanan yang melibatkan pelabuhan-pelabuhan dunia, Cheng Ho ditempatkan sebagai tokoh yang menjelajah tidak hanya fisik tetapi juga filosofis.

Puisi "Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho" membawa pembaca pada perjalanan epik Cheng Ho yang melewati batasan waktu dan ruang. Puisi ini bukan hanya narasi sejarah, tetapi juga refleksi mendalam tentang arti perjalanan, identitas, dan pencarian dalam kehidupan seseorang yang menjelajah di samudra luas dan mencatatkan namanya dalam sejarah dunia.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.