Cerpen: Air Mata di Tepi Danau

Cerpen | Air Mata di Tepi Danau | Gadis cantik, duduk kedinginan di sebuah bangku, menatap danau dengan matanya yang lebar. Aku berada di ....
Gadis cantik, duduk kedinginan di sebuah bangku, menatap danau dengan matanya yang lebar. Aku berada di bangku lainnya, juga merasa kedinginan, sembari membaca buku. Iya, aku tidak benar-benar membaca, karena dia hampir merengut seluruh perhatianku. Aku bisa melihat hidungnya yang halus, sedikit mancung, mengeluarkan uap...  efek dari dingin suasana danau.

Di depan kami, ada beberapa perahu dayung kecil dengan dua orang di masing-masing perahunya; seorang pria dan seorang wanita. Dia masih menatap danau tersebut. Tanpa ekspresi, tanpa rasa bahagia, tanpa rasa kesedihan, tanpa segalanya. Aku bisa melihat bulu matanya dari tempatku duduk, bulu matanya yang panjang.

Air Mata dari Danau
Aku mencoba membaca bukuku lagi dengan mata yang terkadang mengarah padanya. Setengah jam. Hari terasa hampir benar-benar gelap. Sebagian besar perahu menghilang dari danau. Hanya beberapa pasangan berjalan keluar dari taman, bergandengan tangan. Beberapa lainnya menikmati proses gelap. Tidak ada sunset di sudut danau, tapi tetap terasa indah.

Aku meletakkan buku kembali ke dalam tas. Terduduk lelah, aku berjalan berniat menyapa danau. Beberapa inci dari sana, aku berhenti. Aku menoleh untuk melihat gadis itu. Dia juga berdiri. Beberapa langkah dari bangku. Rambut hitam yang panjang. Dan satu hal yang sungguh menggangguku, air matanya.

Aku melihat air mata di pipinya. Aku melihat kesedihan. Bertanya heran apa yang bersembunyi di pikirannya. Seakan dia tidak bisa menahan air matanya. Dia berusaha untuk mengelola perasaannya sendiri, tapi dia benar-benar tidak bisa menahannya.

Berdiri di sana. Air dari matanya menghampiri pipinya. Turun menyentuh tanah. Terserap. Lenyap. Namun kesedihannya tidak runtuh beserta air matanya. Semua itu masih tersimpan di hatinya. Aku tahu dia sangat berharap agar tanah menyerap kesedihannya itu hingga tidak harus menjadi beban.

Aku masih di sana mengawasinya. Dia tidak memperhatikan keberadaanku. Hal yang terdengar tidak lebih baik. Aku tidak akan mampu untuk menyembuhkan hatinya yang terluka. Jadi aku hanya menatap dari tempatku berdiri. Air mata di tepi danau.
© Sepenuhnya. All rights reserved.