Puisi: Jakarta Pada Suatu Hari (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Jakarta Pada Suatu Hari" karya Diah Hadaning mempertimbangkan bagaimana kota yang pernah memiliki sejarah yang kaya dengan peradaban dan ...
Jakarta Pada Suatu Hari (1)


Tergurat merah hitam
di dinding-dinding jembatan laying
perjuangan itu
telah jadi mozaik jaman.

Siapa masih mencari makna
di antara selaksa pesona
yang ditemui bukan lagi
raut perempuan Hindun natap Ciliwung
simpan senyuman Harmoni
tak juga jejak purba
prajurit Mataram tua
istirah renungi senungi sejarah
di kawasan Kesatriyan Condet Selatan
dan Mataraman kini Matraman 
serat kabut dalam ontran-ontran.

Mencoba urai sejarah
sisa kebanggaan lama
yang ditemui hiruk-pikuk sengketa
dalam rumah agung bermahkota.


Jakarta Pada Suatu Hari (2)


Seorang lelaki rapuh sisa peradaban
mengeluh di tikungan jaman
denting siter ungkap gumam
karena tak lagi jadi bagian
dari yang diperjuangkan
gumam diulang saat angin bersarang
di pohonan Jakarta yang daunnya berubah warna.

Siapa bisa mengirimku kembali dalam rahim sejarah
di kota merdeka
aku begini lelah.

Ketika kukabarkan pada mereka
pesan-pesan sisa peradaban
mereka tengah sibuk luar biasa
hitung angka-angka baru
kemas strategi terkini
sementara dalam dada dan kepala
berkilatan mata belati.


Bogor, September 2003

Analisis Puisi:
Puisi "Jakarta Pada Suatu Hari" karya Diah Hadaning adalah sebuah refleksi tentang perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh kota Jakarta seiring berjalannya waktu. Puisi ini mempertimbangkan bagaimana kota yang pernah memiliki sejarah yang kaya dengan peradaban dan perjuangan telah berubah menjadi metropolis modern yang seringkali melupakan warisan budaya dan sejarahnya.

Jakarta Pada Suatu Hari (1): Puisi pertama menciptakan gambaran tentang perubahan Jakarta. Mozaik jaman yang diterjemahkan oleh penulis sebagai dinding jembatan laying yang tergurat merah-hitam mencerminkan perjuangan masa lalu yang telah menjadi sejarah kota. Namun, puisi juga mengindikasikan bahwa sebagian besar orang di Jakarta mungkin tidak lagi menghargai atau mencari makna dari warisan ini. Hindun dan Ciliwung adalah referensi sejarah kepada perempuan legendaris dan sungai yang penting dalam sejarah Jakarta. Harmoni mungkin mengacu pada Harmoni Sentul, kawasan di Jakarta yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit. Puisi ini menggambarkan perubahan besar yang telah terjadi dalam kota, dari tempat bersejarah ke daerah yang lebih modern.

Jakarta Pada Suatu Hari (2): Puisi kedua memperkenalkan narasi lelaki yang merasa terpinggirkan oleh perubahan di kota. Narator menggambarkan bagaimana dia merasa kehilangan koneksi dengan sejarah dan warisan budaya kota. Puisi ini juga menyiratkan bahwa masyarakat modern mungkin tidak lagi menghargai pesan-pesan sisa peradaban yang ditawarkan oleh generasi sebelumnya, sibuk dengan masalah-masalah dunia yang lebih kontemporer.

Puisi "Jakarta Pada Suatu Hari" menggambarkan perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh kota Jakarta. Ini menciptakan gambaran tentang bagaimana perubahan modernisasi dan perubahan budaya dapat membuat seseorang merasa terasing dari sejarah dan warisan budaya mereka. Diah Hadaning mengingatkan pembaca untuk menghargai sejarah dan budaya kota sambil tetap bergerak maju.

"Puisi: Jakarta Pada Suatu Hari (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Jakarta Pada Suatu Hari
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.