Puisi: Kemarau (Karya Wiji Thukul)

Puisi "Kemarau" karya Wiji Thukul mengajak kita untuk lebih peduli terhadap sesama manusia dan bertanya kepada diri sendiri apakah kita telah ...
Kemarau


Ember kosong
gentong melompong
baju jemuran
seng atap rumah
menyilaukan mata

Bumi menguap
blingsatan anjing
kucing kurap
dan gelandangan
berjingkat-jingkat
melewati restoran
dan super market
yang mewah dan angkuh

Ada bau bensin
di parkiran mobil
ada bau parfum
setelah pintu dibanting

Ada lalat hijau
mendengung
berputar-putar
di kotamu ini
mencari bangkai

Barangkali itu
dirimu
atau diriku

Siapa tahu
kita telah membusuk
diam-diam


1 Januari 1997

Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Kemarau" oleh Wiji Thukul adalah sebuah karya yang singkat namun kuat yang menggambarkan penderitaan dan ketidaksetaraan sosial. Dalam puisi ini, penyair menggambarkan kemarau fisik dan emosi yang melanda masyarakat yang kurang beruntung, serta kesenjangan antara mereka dan mereka yang hidup dalam kemewahan.

Gambaran Kemarau Fisik: Puisi dimulai dengan gambaran kemarau fisik yang menggambarkan kekeringan yang melanda. Ember kosong, gentong yang melompong, dan baju jemuran yang menyilaukan mata adalah gambaran visual dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti air dan pakaian yang layak. Ini menciptakan citra masyarakat yang hidup dalam kesulitan ekonomi dan kekurangan.

Kesenjangan Sosial: Puisi ini menggambarkan perbedaan drastis antara dua segmen masyarakat. Di satu sisi, ada mereka yang mampu membeli mobil dan parfum mewah, sementara di sisi lain, ada gelandangan dan kucing kurap yang berusaha bertahan hidup. Restoran mewah dan supermarket yang angkuh mewakili kemewahan yang tidak terjangkau bagi banyak orang.

Kemiskinan dan Kesengsaraan: Penyair menciptakan gambaran nyata kemiskinan dengan menyebutkan bau bensin di parkiran mobil, yang mungkin berasal dari kendaraan yang sudah tua dan rusak milik kelompok ekonomi menengah ke bawah. Lalat hijau yang mencari bangkai menggambarkan kondisi kotor dan sulitnya kehidupan yang harus dihadapi oleh beberapa anggota masyarakat.

Pertanyaan akan Kemanusiaan: Puisi ini mencapai puncaknya dengan penyair yang menanyakan apakah kita, sebagai masyarakat, telah membusuk diam-diam. Ini adalah pertanyaan yang mengajak kita untuk merenungkan peran kita dalam mengatasi ketidaksetaraan dan penderitaan sosial. Apakah kita memberikan perhatian yang cukup terhadap orang yang kurang beruntung dalam masyarakat?

Kesimpulan Terbuka: Puisi "Kemarau" mengakhiri dengan kesimpulan terbuka yang menyoroti ketidakpastian dan kepahitan yang melanda banyak orang dalam masyarakat. Hal ini juga menggambarkan ketidaksetaraan yang terus berlanjut dan tantangan sosial yang belum terselesaikan.

Puisi "Kemarau" karya Wiji Thukul adalah pengingat tentang ketidaksetaraan sosial, kemiskinan, dan penderitaan yang dialami oleh banyak orang. Puisi ini mengajak kita untuk lebih peduli terhadap sesama manusia dan bertanya kepada diri sendiri apakah kita telah melakukan bagian kita dalam mengatasi ketidakadilan sosial.

Puisi: Kemarau
Puisi: Kemarau
Karya: Wiji Thukul

Biodata Wiji Thukul:
  • Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
  • Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
  • Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).
© Sepenuhnya. All rights reserved.