Puisi: Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan? (Karya Wiji Thukul)

Puisi || Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan? || Karya Wiji Thukul ||
Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?
Untuk Prof. Dr. W.F. Wertheim pada ulang tahun yang ke-90 (11-11-1997)


Waktu aku di geladak kapal
di tengah Laut Jawa
bersama para TKW dari Malaysia
pulang hendak berlebaran di kampungnya
ingin aku menulis puisi
dengan pembukaan: hidup ini seperti laut
dan aku ini penumpang yang...
tapi apakah hidupku ini masih butuh perumpamaan

Waktu aku hendak ke Yogya
lewat Ponorogo Jatisrono terus Wonogiri
dan di Pracimoloyo mampir mandi
di mata air bersama satu-satunya
untuk beberapa desa
waktu naik bis umum
bersama penduduk yang membawa ember
kain baju cucian
berkilo-kilo meter jarak rumah ke
mata air
akan bertanya-tanya
masihkah aku membutuhkan perumpamaan
untuk mengungkapkan ini?

Waktu mataku ditendang tentara
dalam pemogokan buruh
dalam hati aku bilang mereka lebih ganas dari serigala
tapi aku masih ragu apakah perumpamaan ini
kupahami

Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek - biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku - 4 th - melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA.


Jakarta, 1 Nopember 1997

Sumber: Para Jendral Marah-Marah (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?" karya Wiji Thukul mengeksplorasi makna kebebasan dan kekuasaan dalam konteks pengalaman pribadi dan politik penulis. Dalam puisi ini, penulis merenungkan apakah perumpamaan atau metafora masih diperlukan untuk mengungkapkan pengalaman hidup yang pahit dan realitas yang penuh dengan ketidakadilan.

Puisi ini dimulai dengan gambaran penulis berada di geladak kapal di tengah Laut Jawa bersama para Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Malaysia yang pulang untuk merayakan Hari Raya di kampung halaman mereka. Penulis ingin menulis puisi dengan pembukaan "hidup ini seperti laut" dan mencoba merenungkan apakah hidupnya masih membutuhkan perumpamaan untuk menyampaikan pengalaman yang sesungguhnya.

Kemudian, penulis melanjutkan dengan pengalaman perjalanan menuju Yogya melalui berbagai daerah di Jawa Tengah. Di tengah perjalanan, penulis melihat penduduk setempat yang harus berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih. Hal ini membuatnya meragukan apakah perumpamaan masih diperlukan untuk mengungkapkan pengalaman tersebut, karena realitasnya begitu nyata dan tidak perlu diungkapkan secara metaforis.

Puisi ini juga mengungkapkan kekejaman dan penindasan yang dialami oleh penulis. Dalam pengalaman pemogokan buruh, penulis merasakan perlakuan kasar dari tentara dan menyebut mereka lebih ganas dari serigala. Namun, penulis masih meragukan pemahaman pribadinya terhadap perumpamaan tersebut, mungkin karena situasi yang nyata dan pahit telah melampaui kebutuhan untuk menggunakan figurative language.

Pada akhir puisi, penulis berbagi pengalaman pahitnya sebagai buronan politik karena afiliasinya dengan Partai Rakyat Demokratik. Ia dan keluarganya menjadi target intimidasi dan penindasan oleh pihak berwenang. Dalam situasi ini, penulis meragukan apakah perumpamaan masih diperlukan untuk mengungkapkan bahwa ia tidak merasakan kebebasan yang sebenarnya.

Puisi "Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?" mencerminkan semangat perlawanan Wiji Thukul terhadap ketidakadilan dan penindasan yang ada di masyarakat. Melalui penggunaan bahasa yang lugas dan kuat, penulis mengajak pembaca untuk melihat kebenaran yang tersembunyi di balik perumpamaan dan menyadari betapa pentingnya menyampaikan pengalaman hidup secara tulus dan langsung.

Puisi ini juga mencerminkan keberanian dan keteguhan hati Wiji Thukul dalam menyuarakan kebenaran, meskipun harus menghadapi konsekuensi yang berat. Karya-karya Wiji Thukul, termasuk puisi ini, memainkan peran penting dalam memotivasi masyarakat untuk berpikir kritis tentang realitas sosial dan politik yang ada di sekitar mereka.

Karya-karya Wiji Thukul, termasuk "Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?", telah menginspirasi banyak orang dengan keberanian dan semangat perlawanannya. Puisi-puisinya menjadi bukti bahwa sastra dapat menjadi media yang kuat untuk menyuarakan kebenaran, mempertanyakan ketidakadilan, dan menggugah kesadaran kolektif.

Wiji Thukul
Puisi: Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?
Karya: Wiji Thukul

Biodata Wiji Thukul:
  • Wiji Thukul (nama asli Wiji Widodo) lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di Solo, Jawa Tengah.
  • Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).
© Sepenuhnya. All rights reserved.