Puisi: Nonton Harga (Karya Wiji Thukul)

Puisi "Nonton Harga" karya Wiji Thukul menciptakan gambaran tentang ketidaksetaraan sosial dan kesenjangan ekonomi yang nyata di dalam masyarakat.
Nonton Harga

Ayo keluar keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja

Kalau pingin durian
apel-pisang-rambutan-anggur
ayo...
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada

Kalau pingin lihat orang cantik
di kota kita banyak gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kau nikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja

Ayo...
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama ibukota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya

Kota kita memang makin megah dan kaya

Tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan

Besok pagi
kita ke pabrik
kembali bekerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa.

18 November 1996

Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Nonton Harga" karya Wiji Thukul menciptakan gambaran tentang ketidaksetaraan sosial dan kesenjangan ekonomi yang nyata di dalam masyarakat. Melalui penggambaran kehidupan sehari-hari di kota, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan dampak dari ketidakadilan ekonomi yang terjadi di tengah kemegahan dan kemakmuran kota.

Pergeseran Nilai dan Prioritas: Puisi ini membahas pergeseran nilai-nilai dan prioritas dalam masyarakat modern. Penekanan pada konsumsi, kemewahan, dan hiburan seperti belanja, nonton bioskop, dan menikmati makanan terpampang jelas di dalam puisi. Namun, sisi lain dari kehidupan, seperti pekerjaan yang melelahkan dan kesulitan ekonomi, juga tergambar dalam puisi ini.

Pertentangan Kehidupan: Puisi ini menyoroti pertentangan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun ada kekayaan dan keindahan di sekitar, banyak orang yang mengalami kesulitan ekonomi dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Pertentangan ini menciptakan suasana yang penuh kontras antara kemewahan dan kesulitan.

Dampak Globalisasi: Puisi ini mencerminkan dampak globalisasi yang tidak merata. Peningkatan konsumsi barang-barang dari luar negeri, seperti parfum dan buah-buahan eksotis, menunjukkan pengaruh globalisasi di tengah kehidupan sehari-hari. Namun, banyak orang masih harus menghadapi masalah seperti ngutang dan kesulitan finansial.

Kritik Terhadap Kesimpangsiuran Nilai: Puisi ini mengkritik kesimpangsiuran nilai-nilai dalam masyarakat yang menempatkan pentingnya konsumsi dan kemewahan di atas kebutuhan dasar dan kesejahteraan sosial. Pemerintah dan pejabat yang meresmikan hotel berbintang lima dengan megah menjadi contoh dari kesenjangan sosial yang terjadi.

Kesadaran dan Refleksi: Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perbedaan yang terjadi di dalam masyarakat. Meskipun ada kenyataan kemakmuran dan kemegahan, banyak orang masih berjuang dengan keterbatasan ekonomi. Puisi ini mendorong pembaca untuk lebih peka terhadap realitas sosial di sekitar mereka.

Puisi "Nonton Harga" oleh Wiji Thukul menghadirkan gambaran tentang ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang terjadi di tengah kemegahan kota. Melalui penggambaran yang kontras ini, puisi ini mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang nilai-nilai dan prioritas dalam masyarakat yang semakin terpengaruh oleh globalisasi dan konsumerisme.

Puisi Nonton Harga
Puisi: Nonton Harga
Karya: Wiji Thukul

Biodata Wiji Thukul:
  • Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
  • Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
  • Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).
© Sepenuhnya. All rights reserved.