Puisi: Lagu Siul (Karya Chairil Anwar)

Puisi "Lagu Siul" karya Chairil Anwar merupakan refleksi atas kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian dan kebingungan akan makna hidup.
Lagu Siul (1)

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
'Ku kayak tidak tahu saja.
Lagu Siul (2)

Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka.

25 November 1945

Sumber: Deru Campur Debu (1949)

Catatan:
Bagian kedua dari Puisi "Lagu Siul" muncul di buku Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus dengan judul "Tak Sepadan".

Analisis Puisi:
Puisi "Lagu Siul" karya Chairil Anwar menghadirkan gambaran yang puitis dan melankolis tentang kehidupan dan keputusasaan. Melalui bahasa yang khas dan imajinatif, Chairil Anwar menggambarkan pengalaman manusia dalam menghadapi kematian, kesendirian, dan keputusasaan.

Gambaran Kematian dan Kesendirian: Di bagian pertama puisi, Chairil Anwar menggambarkan kehancuran dan kematian dengan gambaran laron yang mati terbakar di sumbu lampu. Metafora ini mungkin merujuk pada ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi kematian yang datang tanpa bisa dihindari. Penggunaan gambaran mata yang cerlang menunjukkan kekuatan dan keindahan, tetapi juga keputusasaan dan kehancuran yang tak terelakkan.

Kehidupan yang Terputus Asa: Di bagian kedua, Chairil Anwar menggambarkan perasaan terasing dan keputusasaan. Ia membandingkan kehidupan sederhana dan bahagia dengan keadaannya sendiri yang terusir dan terkutuk seperti Ahasveros, seorang tokoh legendaris yang dikutuk untuk hidup abadi. Ia merasa terkurung dalam kegelapan dan kesendirian, tidak ada jalan keluar yang terbuka baginya.

Ungkapan Keputusasaan dan Resignasi: Pada akhir puisi, Chairil Anwar menyatakan keputusasaan dan resignasi terhadap nasibnya yang tidak menentu. Ungkapan "Jadi baik kita padami / Unggunan api ini" mungkin mencerminkan penerimaan akan keadaan yang tak terhindarkan. Meskipun demikian, ada kesan ironis dalam ungkapan ini, di mana dia menasihati pasangannya untuk menikmati hidup karena dia sendiri merasa terpanggang dan terhempas oleh kehidupan.

Puisi "Lagu Siul" karya Chairil Anwar adalah sebuah penggambaran puitis tentang kematian, kesendirian, dan keputusasaan manusia. Dengan bahasa yang kuat dan imajinatif, Chairil Anwar membangun gambaran yang menghadirkan perasaan kehampaan dan keputusasaan yang mendalam. Puisi ini merupakan refleksi atas kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian dan kebingungan akan makna hidup.

Chairil Anwar
Puisi: Lagu Siul
Karya: Chairil Anwar

Biodata Chairil Anwar:
  • Chairil Anwar lahir di Medan, pada tanggal 26 Juli 1922.
  • Chairil Anwar meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 28 April 1949 (pada usia 26 tahun).
  • Chairil Anwar adalah salah satu Sastrawan Angkatan 45.
© Sepenuhnya. All rights reserved.