Puisi: Antara Rimba Beton dan Rel-Rel (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Antara Rimba Beton dan Rel-Rel" karya Diah Hadaning menggambarkan konflik antara keinginan untuk menjaga kebenaran dan alam, serta ...
Antara Rimba Beton dan Rel-Rel


Orang-orang yang selalu memikir kebenaran
adalah milik dirinya dan kesalahan milik yang lain
pernah menertawakan dirinya yang mengaku mampu
mengubah warna langit, laut dan cakrawala
jika layar kaca, mimbar dan corong-corong
tak lagi boleh bicara
mendengus pada kota ia bahkan mengaku
aku anak rimba beton
zikirku mengental dalam adonan semen
meleleh atas gusuran tanah garapan
yang siap jadi kampung industri
aku anak rimba beton
selalu rindukan perbaikan tanpa rutin pengorbanan
azanku mengayun pucuk menara
yang rindu matahari baru tanpa ampas teknologi.

Siapa menatapku, siapa menyahutku
sedang udara kian terbakar
sedang rasa cinta kian ambyar membentuk jurang lebar
improvisasi adalah permainan langkahku
pohon-pohon dan waktu saling berpacu
bagai panorama dari jendela kereta
sedang aku kereta itu kencang melaju
sampai meninggalkan rel-rel tapi akhirnya
selalu kembali ke kota terbakar dengan stasiunnya
yang dipenuhi mozaik wajah-wajah beringas.


Jakarta, September 1990

Analisis Puisi:
Puisi "Antara Rimba Beton dan Rel-Rel" karya Diah Hadaning adalah karya yang merenungkan hubungan manusia dengan lingkungannya, khususnya dalam konteks perkotaan modern. Puisi ini menggambarkan konflik antara keinginan untuk menjaga kebenaran dan alam, serta dampak dari peradaban kota yang terus berkembang.

Konflik Antara Kebenaran dan Kesalahan: Puisi ini memulai dengan menyatakan bahwa orang-orang yang selalu memikirkan kebenaran cenderung menyalahkan orang lain atas kesalahan, sementara mereka merasa bahwa mereka adalah pemilik kebenaran. Ini menciptakan gambaran konflik antara pandangan individu tentang kebenaran dan kesalahan.

Rimba Beton dan Alam: Judul puisi menciptakan perbandingan antara "rimba beton" yang merujuk pada kota modern dan "rel-rel" yang mungkin melambangkan alam dan keadaan yang lebih alami. Puisi ini menciptakan kontras antara lingkungan perkotaan dan alam.

Penolakan Terhadap Teknologi dan Peradaban: Penyair dalam puisi ini mengungkapkan penolakan terhadap peradaban dan teknologi modern dengan menggambarkan dirinya sebagai "anak rimba beton." Penyair ingin menjaga alam dan mempertahankan aspek alami dalam kehidupan manusia.

Keinginan untuk Mengubah: Penyair menyatakan keinginan untuk "mengubah warna langit, laut, dan cakrawala" jika media, mimbar, dan berbagai perangkat komunikasi tidak lagi bisa berbicara. Ini menggambarkan hasrat untuk menciptakan perubahan positif dalam dunia yang semakin terpengaruh oleh teknologi.

Rasa Rindu akan Keaslian: Penyair merasa rindu akan perbaikan yang tidak hanya terjadi melalui teknologi dan perkembangan industri, tetapi juga melalui keaslian dan pengorbanan manusia. Puisi ini menciptakan perasaan nostalgia akan kehidupan yang lebih sederhana dan berdampingan dengan alam.

Konflik Batin dan Pertarungan: Penyair menggambarkan konflik dalam dirinya, di mana ia merasa seperti sebuah kereta yang melaju kencang melalui perkotaan yang modern dan penuh dengan teknologi. Meskipun meninggalkan rel-rel yang melambangkan alam, ia selalu kembali ke kota yang terbakar dengan stasiun yang dipenuhi oleh masyarakat yang serba beringas.

Puisi "Antara Rimba Beton dan Rel-Rel" adalah suatu ungkapan tentang konflik dan pertarungan batin antara keinginan untuk menjaga keaslian dan alam dengan daya tarik perkotaan modern yang serba teknologi. Puisi ini menciptakan perasaan nostalgia akan hubungan manusia dengan alam dan pertanyaan tentang apakah peradaban modern selalu menguntungkan atau mengancam keberlanjutan lingkungan alam.

"Puisi: Antara Rimba Beton dan Rel-rel (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Antara Rimba Beton dan Rel-Rel
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.