Puisi: Senja (Karya Idrus Tintin)

Puisi "Senja" menghadirkan keindahan dan kedalaman melalui gambaran senja sebagai metafora hidup. Dengan menggunakan bahasa yang indah dan imaji ...
Senja


        Lelaki tua berjalan dalam gerimis. Waktu itu
senja akhir tahun yang layu. Petang basah melengkung
runduk menciumnya pada pipi. Bercermin pada genangan air
nampak bekasnya warna kesumba.

        Kita dapat melihatnya dengan menyingkapkan kain
jendela ini sedikit. Karena kau mau lebih jelas, kubuka
jendela besar-besar; derit engselnya menyebabkan ia menoleh
ke sini.

        Marilah kita tunggu ketukan di pintu. Marilah kita
tunggu ia tiba. Biar kusediakan teh secangkir lagi, dan
tambahlah kue-kue, jangan yang ini, ya, yang lembut-lembut
itu yang sesuai dengan kerentaannya.

        "Selamat sore," katanya.

        "Selamat sore," jawab kita.

        Gerimis di luar makin tipis. Mega berbentuk kuda lewat
di jendela, sempat mengigit pelangi dan membawanya lari.
Gerimis pun habis. Detak detik jam menitik di atas meja.

        "Hari sudah hampir gelap," kata orang tua itu.

        "Karena hujan," kataku.

        "Tidak," katanya lagi, "Hari sudah hampir malam."

        Aku bangkit memasang lampu,
mengusir remang hati kita.

        Ia mengangkat cangkir ke bibir, mengesip manis air teh
dan tinggalkan pahitnya dalam cangkir. Lalu ia reguk semua
pahit yang tinggal dalam cangkir, dan berkata, "Kelahiran
dimulai dengan tangis, dan jalan tangis itu cukup panjang."

        Malam telah melegamkan kaca jendela. Selekeh jelaganya
mengenai jendela.

        "Di ujung lorong ini tidak ada lampu," kata orang tua
itu, "Aku akan meraba-raba mencari rumahku. Tapi kita
tak perlu takut pada gelap. Pada mulanya adalah gelap,
lalu terang, kemudian malam, dan akhirnya kita akan
masuk kembali ke tempat asal. Sederhana dan tak terelakkan."

        Ia bangkit dan berkata, "Selamat Malam!"

        Orang tua itu melangkah, tertatih-tatih
menuju ujung malam.


Sumber: Horison (Januari, 1989)

Analisis Puisi:
Puisi "Senja" karya Idrus Tintin menawarkan gambaran puitis tentang perjalanan hidup, melalui penggambaran senja sebagai metafora bagi tahap akhir kehidupan. Dengan menggunakan bahasa yang kaya dan gambar-gambar yang kuat, penulis mengajak pembaca untuk merenung tentang waktu, kenangan, dan takdir.

Gambaran Senja sebagai Metafora: Puisi ini dibuka dengan gambaran seorang lelaki tua yang berjalan dalam gerimis menjelang senja. Senja menjadi metafora bagi fase akhir kehidupan, sebuah waktu yang melambangkan kebijaksanaan dan pemahaman akan keterbatasan manusia.

Warna dan Genangan Air: Warna kesumba yang terlihat pada genangan air menggambarkan kehidupan yang telah dilalui dengan warna-warni pengalaman dan kenangan. Genangan air mencerminkan refleksi diri, sebagai cermin bagi lelaki tua untuk merenung tentang perjalanan hidupnya.

Penyingkapan Jendela: Tindakan menyingkap jendela untuk melihat lebih jelas menciptakan simbolisme bahwa kebijaksanaan dapat ditemukan melalui introspeksi dan pemahaman lebih dalam terhadap kehidupan. Penyingkapan jendela menjadi langkah untuk membuka diri terhadap pemahaman yang lebih dalam.

Jam Menitik dan Mega Berbentuk Kuda: Detak detik jam yang menitik menggambarkan ketidaktentuan waktu dan efemeralnya kehidupan. Mega berbentuk kuda yang menggigit pelangi menciptakan gambaran puitis tentang keindahan yang singkat dan cepat berlalu, mencerminkan kerentanan kehidupan.

Teh dan Kue sebagai Penerima Tamu: Penyediaan teh dan kue oleh pembicara menggambarkan keramahan dan kesiapan untuk menerima tamu, bahkan di tengah gerimis dan senja kehidupan. Ini menciptakan suasana santai untuk berbagi pengalaman dan pemikiran.

Dialog antara Pembicara dan Orang Tua: Dialog antara pembicara dan lelaki tua membuka ruang refleksi tentang waktu, hujan, dan senja. Percakapan ini menciptakan lapisan makna dan mendalamkan pemahaman pembaca terhadap tema penantian dan akhir kehidupan.

Gelap sebagai Bagian dari Perjalanan: Orang tua itu menggambarkan bahwa gelap adalah bagian dari perjalanan hidup. Analogi bahwa kelahiran dimulai dengan tangis, dan jalan tangis itu cukup panjang, menggambarkan perjalanan hidup sebagai rangkaian pengalaman yang melibatkan berbagai emosi dan fase.

Kelahiran, Terang, Malam, dan Kembali ke Tempat Asal: Pernyataan tentang kelahiran yang dimulai dengan tangis, perjalanan dari terang ke malam, dan akhirnya kembali ke tempat asal, menggambarkan siklus kehidupan yang sederhana dan tak terelakkan.

Pergi Menuju Ujung Malam: Orang tua itu melangkah menuju ujung malam dengan tertatih-tatih, menggambarkan perjalanan menuju akhir hidup yang penuh dengan tantangan. Tetapi, penggambaran ini juga mengandung harapan akan kedamaian dan kembali ke sumber asal.

Puisi "Senja" menghadirkan keindahan dan kedalaman melalui gambaran senja sebagai metafora hidup. Dengan menggunakan bahasa yang indah dan imaji yang kuat, Idrus Tintin mengajak pembaca merenung tentang perjalanan kehidupan, waktu, dan penantian akan akhir yang tak terelakkan.

Puisi Idrus Tintin
Puisi: Senja
Karya: Idrus Tintin

Biodata Idrus Tintin:
  • Idrus Tintin (oleh sanak keluarga dan kawan-kawannya, biasa dipanggil Derus) lahir pada tanggal 10 November 1932 di Rengat, Riau.
  • Idrus Tintin meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2003 (usia 71 tahun) akibat penyakit stroke.
© Sepenuhnya. All rights reserved.