Puisi: Elegi Jakarta (Karya Asrul Sani)

Puisi "Elegi Jakarta" menciptakan gambaran tentang Jakarta sebagai kota yang penuh dengan konflik, ketidakpastian, dan penderitaan.
Elegi Jakarta (1)

Pada tapal terakhir sampai ke Yogya,
bimbang telah datang pada nyala
langit telah tergantung suram
Kata-kata berantukan pada arti sendiri

Bimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati - atau tiada mati-matinya

O Jenderal, bapa, bapa
tiadakah engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya akan tetap tinggal pada titik-sempurna
dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
akan hilang ditiup angin
ia berdiam di pasir kering

O Jenderal, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia

O Jenderal, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta kepada bumi ini

Ah mengapa pada hari-hari sekarang , matahari
sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumi

Jenderal, mari jenderal
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat keyakinan
engkau bersama kami, engkau bersama kami

Mari kita tinggalkan ibu kota
mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
mari jenderal mari
sekali ini derajat orang pencari dalam bahaya
mari jenderal, mari jenderal, mari....

Elegi Jakarta (2)

Ia yang hendak mencipta,
menciptakan atas bumi ini.
Ia yang kan tewas,
tewaslah karena kehidupan.
Kita akan yang mau mencipta dan akan tewas
akan berlaku untuk ini dengan cinta,
dan akan jatuh seperti permata mahkota
berderai sebutir demi sebutir.

Apa juga nasib akan tiba.
Mesra yang kita bawa, tiadalah
Kita biarkan hilang karena hisapan pasir.

Engkau yang telah berani menyerukan,
Kebenaranmu dari gunung dan keluasan
Sekali masa akan ditimpa angin dan hujan.

Jika suaramu hilang dan engkau mati,
Maka kami akan berduka, dan akan
menghormat bersama kekasih kami.

Kita semua berdiri di belakang tapal,
Dari suatu malam ramai,
Dari suatu kegelapan tiada berkata,
Dari waktu terlalu cepat dan kita mau tahan,
Dari perceraian tiada mungkin
Dan sinar mata yang tiada terlupakan.

Serulah, supaya kita ada dalam satu barisan,
Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan senja
Terik yang keras tiada lagi akan sanggup
Mengeringkan kembang kerenjam
Pepohonan sekali lagi akan berdahan panjang
Dan buah-buahan akan matang pada tahun yang akan datang.

Mungkin engkau orang perang dan aku petualang,
Tetapi pada suatu hari cinta telah dijanjikan.
Jika bulan Juni telah pulang
Aku akan membaca banyak pada waktu malam
Dan mau kembali ke pantai Selatan jika kemarau telah datang
Laut India akan melempar pasang
Bercerita dari kembar cinta dan perceraian.

Aku akan minta, supaya engkau
Berdiri curam, atas puncak dibakar panas
Dan sekali lagi berseru, akan pelajaran baru
Waktu itu angin Juni akan bertambah tenang
Karena bulan berangkat tua,
Kemarau akan segan kepada bunga yang telah berkembang.

Di sini telah datang suatu peranan
Serta kita akan menderita dan tertawa
Tawa dan derita dari
yang tewas
yang mencipta...

Elegi Jakarta (3)
(untuk seorang sahabat)

Airmata, adalah sekali ini airmata dari hati yang mengandung durja
Dan kelulah kekasih senantiasa berkisah
Tiadalah lagi senyum yang akan timbul karena suatu kemenangan
Habislah segala kenangan - selalu pada fajar - selalu yang membawa harap.

Sudah tahu, suatu kesalahan sekali,
Telah merobah titik asal harap,
Dan karena gelombang yang memukul tinggi
dengan segala rahasia dan senjata yang ada dalam kerajaannya
Telah dijadikan suatu cinta yang marak - hidup lepas dari lembaga
Dan gamitan tangan dan mata berhenti pada suatu keluh sedan dari jiwa yang berduka.
Bangunlah kekasihku, berilah daku bahagia,
Dari segala cahaya yang ada padamu.
Bagiku, keluhan yang lama akan
Mematikan segala tindakan,
Membuat lagak tidak punya tokoh
Ucapan kehilangan asal dan bekas
Serta ini pulau - banyak dan intan laut yang kukasihi,
Akan menjadi suatu bencana dari kelumpuhan orang berpenyakit pitam.

Aku akan hilang-lenyap, tiada meninggalkan nama
Suatu sedih sangsai dari diriku,
Atas suatu panggilan dengan suara kecil
Dari laki-laki di depan laut di belakang gunung.
Berikan suatu pekikan peri
Dan ini akan lebih membujuk
Dari suatu mulut terbuka, tapi tiada berkata.
Air mata yang terbayang, tetapi tiada berlinang
Dari suatu kebisuan, dari suatu kebisuan
Jika ini adalah suatu impian,
Maka janganlah lagi bermimpi,
Bagaimanapun terang malam.
Sedang daku akan berjaga,
Sampai sosok tali dan tiang
Tergantung pada sinar pagi yang timbul.
Suatu khianat yang telah memakan cinta
Suatu kebakhilan manusia yang enggan beryakin
Suatu noda,
Dan suatu derita dari keluh uang mengelu
..........................
Demikian sahabat mari berdoa,
mari berdoa,
kita akan berdoa.
kita akan berdoa, kita akan berdoa
Kita akan berdoa, untuk pagi hari yang akan timbul.

Sumber: Tiga Menguak Takdir (1950)

Catatan:
  • Sajak Elegi Jakarta I sering dijumpai dengan judul Lagu daripada Pasukan Terakhir.
  • Sajak Elegi Jakarta II sering dijumpai dengan judul Elegi.
  • Sajak Elegi Jakarta III sering dijumpai dengan judul Kekasih yang Kelu.

Analisis Puisi:
Puisi "Elegi Jakarta" karya Asrul Sani menggambarkan perasaan kompleks dan refleksi atas kondisi kota Jakarta serta penderitaan yang dirasakan dalam perjalanan hidupnya. Puisi ini memiliki tiga bagian yang membentuk satu kesatuan.

Bagian Pertama: Bagian ini menggambarkan suasana bimbang dan suram, dengan langit yang tergantung suram. Kata-kata berantakan mencerminkan kebingungan dan kekacauan yang melanda. Ada nuansa penuh tekanan dan ketidakpastian, di mana kata-kata dan arti tampaknya terpisah. Pada bagian ini, puisi menciptakan suasana yang gelap dan konflik batin.

Bagian Kedua: Bagian ini mengarah pada tema cinta tanah air dan penderitaan yang melibatkan pertempuran dan pengorbanan. Puisi menciptakan imajinasi tentang perang, peluru dalam darah, dan nilai yang tercecer. Pada bagian ini, terdapat kegelisahan akan masa depan dan kehidupan. Puisi ini mencerminkan semangat perjuangan dan patriotisme yang kuat, tetapi juga merujuk pada pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bagian Ketiga: Bagian ini lebih fokus pada individualitas dan refleksi pribadi. Ada nada elegi yang kuat dan perasaan terhadap seorang sahabat. Puisi ini menciptakan suasana yang sangat emosional dan melankolis, dengan bahasa yang sangat puitis. Ada ungkapan rasa kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Bagian ini menunjukkan kontras dengan semangat perjuangan pada bagian sebelumnya, menghadirkan suasana introspeksi dan keheningan.

Pesan dan Makna: Puisi "Elegi Jakarta" menciptakan gambaran tentang Jakarta sebagai kota yang penuh dengan konflik, ketidakpastian, dan penderitaan. Selain itu, puisi ini juga menggambarkan perasaan individualitas dan pribadi dalam menghadapi dinamika kompleks kota dan kehidupan. Melalui puisi ini, Asrul Sani mungkin ingin mengajak pembaca untuk merenungkan tentang identitas, perjuangan, dan ketidakpastian dalam kehidupan serta mempertanyakan nilai-nilai yang dipegang dalam menghadapi perubahan.

Bahasa dan Imajinasi: Puisi ini menggunakan bahasa yang puitis dan mendalam dalam menggambarkan berbagai emosi dan suasana. Imajinasi kuat digunakan untuk menciptakan gambaran visual dan emosional yang kuat. Penggunaan repetisi dalam bagian terakhir menciptakan ritme yang menguatkan pengaruh emosional puisi.

Puisi "Elegi Jakarta" oleh Asrul Sani adalah karya yang sarat akan perasaan kompleks, refleksi, dan emosi. Melalui penggambaran yang kuat, puisi ini berhasil mengekspresikan nuansa perasaan manusia dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi, baik itu perjuangan, penderitaan, maupun kehilangan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang identitas, perubahan, dan nilai-nilai dalam konteks kota dan kehidupan.

Asrul Sani
Puisi: Elegi Jakarta
Karya: Asrul Sani

Biodata Asrul Sani:
  • Asrul Sani lahir pada tanggal 10 Juni 1926 di Sumatera Barat.
  • Asrul Sani meninggal dunia pada tanggal 11 Januari 2004 (ada usia 77 tahun) di Jakarta, Indonesia.
  • Asrul Sani adalah salah satu pelopor Angkatan '45 (bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin).
© Sepenuhnya. All rights reserved.