Puisi: Menyerap Tinta di Lautan (Karya Acep Zamzam Noor)

Puisi "Menyerap Tinta di Lautan" karya Acep Zamzam Noor mempersembahkan kehidupan dan cintanya melalui kata-kata. Dengan penuh semangat, penyair ....
Menyerap Tinta di Lautan


Akulah si miskin yang kaya
Dadaku berkilauan bukan oleh permata
Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta
Padaku. Kini aku menyeret langkah ke segala penjuru
Dan menulis puisi di sudut-sudut malam
Di antara kesempitan bumi dan keluasan langit
Aku terus menggeliat dan menari
Sedih dan riangku menjadi tarian di udara
Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari
Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu abadi
Beribu penyair telah menyerap tinta di lautan
Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan

Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran
Memenuhi udara dengan bau keringat pengembara
Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam
Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu
Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi
Hingga gairahku menyala dan berkobar kembali
Siang dan malam akan terus berulang, seperti berulangnya
Hidup dan mati. Lihatlah, tidak ada lagi mahkota di kepalaku
Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:
Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan
Lalu bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cinta.

Sumber: Tulisan pada Tembok (2011)

Analisis Puisi:
Puisi "Menyerap Tinta di Lautan" karya Acep Zamzam Noor membawa kita dalam perjalanan penyair yang penuh cinta dan kebebasan.

Keadaan Paradoks Penyair: Puisi ini dimulai dengan paradoks yang mencolok: "Akulah si miskin yang kaya." Ungkapan ini menggambarkan kekayaan batin yang diakui oleh penyair, meskipun mungkin tidak diukur dalam harta materi.

Cinta sebagai Sumber Kekayaan: Dadaku berkilauan bukan oleh permata, melainkan oleh cinta yang disodorkan kemurahan semesta. Puisi ini memperkuat gagasan bahwa kekayaan sejati bukan hanya materi, melainkan juga cinta dan keberlimpahan batin.

Pencarian Identitas Penyair: Penyair menyeret langkahnya ke segala penjuru, menulis puisi di sudut-sudut malam. Ini mencerminkan pencarian identitasnya yang terus bergerak dan berkembang melalui kata-kata.

Dualitas Sedih dan Riang: Sedih dan riang diungkapkan sebagai tarian di udara, menciptakan gambaran dualitas emosi dalam perjalanan hidup penyair.

Penyair sebagai Pengembara: Penyair digambarkan sebagai pengembara yang menempuh bukit demi bukit, menyongsong matahari, dan menuliskan kerinduan. Ini menyoroti perjalanan panjang dan kadang sulitnya mengejar tujuan dan kebebasan.

Penyair sebagai Pencetak Sejarah: Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan, menegaskan peran penyair sebagai pencetak sejarah yang mengabadikan perasaan dan pengalaman melalui kata-kata.

Penerimaan Kehidupan dan Kematian: Puisi menciptakan sikap penerimaan terhadap siklus hidup dan mati, dengan siang dan malam yang terus berulang. Ini mencerminkan kebijaksanaan dan filosofi penyair terhadap takdir alamiah kehidupan.

Simbolisme Pena: Pena menjadi simbol kemegahan, dan penyair ingin menghabiskan semua tinta di lautan. Ini mewakili tekadnya untuk memberikan yang terbaik dan berkontribusi sebanyak mungkin kepada dunia melalui karyanya.

Puisi "Menyerap Tinta di Lautan" adalah perjalanan penyair yang mempersembahkan kehidupan dan cintanya melalui kata-kata. Dengan penuh semangat, penyair mencari kebebasan, merayakan cinta, dan menulis sejarah melalui tinta yang tak terbatas di lautan kata-kata.

Acep Zamzam Noor
Puisi: Menyerap Tinta di Lautan
Karya: Acep Zamzam Noor

Biodata Acep Zamzam Noor:
  • Acep Zamzam Noor (Muhammad Zamzam Noor Ilyas) lahir pada tanggal 28 Februari 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.
  • Ia adalah salah satu sastrawan yang juga aktif melukis dan berpameran.
© Sepenuhnya. All rights reserved.