Puisi: Miskin Desa, Miskin Kota (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Miskin Desa, Miskin Kota" menggambarkan penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh rakyat jelata, terutama dalam konteks sejarah ...
Miskin Desa, Miskin Kota

Kakekmu di zaman Jepang kena kudis dan beri-beri
Bengkak di kaki, kelaparan dan mati

Beribu kami mengais
beribu pula mengemis

Keluarga kita di zaman PKI makan bulgur kuda
Panen sedesa dilindas cuaca dan hama
Bu-likmu, misanmu, semua mati muda

Berpuluh ribu kami mengais
berpuluh ribu pula mengemis

Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan
Negeri rubuh, kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan
Sesabar-sabar makhluk makan angan-angan
Jam berdetak, angin lewat di atas tungku penyerangan
Di halaman depan menanti keranda ke kuburan

Tak terhitung kami mengais
tak terhitung  pula yang mengemis.

1998

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998)

Analisis Puisi:
Puisi "Miskin Desa, Miskin Kota" menggambarkan penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh rakyat jelata, terutama dalam konteks sejarah Indonesia yang penuh dengan peristiwa-peristiwa sulit.

Penderitaan Sejarah: Puisi ini mengaitkan penderitaan masa lalu dengan kondisi saat ini. Dari zaman Jepang hingga era PKI, puisi tersebut menyoroti penderitaan yang dialami oleh leluhur kita di masa lalu akibat penyakit, kelaparan, dan peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi.

Kesengsaraan Masa Kini: Meskipun puisi ini merujuk pada masa lalu, pesannya sangat relevan dengan kondisi saat ini. Dengan menggambarkan negeri yang rubuh, pagu dapur berantakan, dan rakyat yang harus makan angan-angan, puisi tersebut mencerminkan kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang masih terjadi di masyarakat kita.

Penggambaran Penderitaan: Penggunaan kata-kata seperti "kudis", "beri-beri", "kelaparan", dan "mati muda" memberikan gambaran yang kuat tentang penderitaan yang dialami oleh orang-orang di puisi ini. Ini menyoroti betapa kerasnya kehidupan mereka dan betapa sulitnya bertahan hidup di tengah kondisi yang keras.

Jumlah yang Tak Terhitung: Dengan menekankan bahwa "tak terhitung kami mengais, tak terhitung pula yang mengemis," puisi ini menyampaikan bahwa penderitaan dan kesengsaraan ini melibatkan banyak orang. Ini menyoroti skala masalah sosial yang perlu diatasi oleh masyarakat dan pemerintah.

Bentuk Pemberontakan: Puisi ini juga dapat dilihat sebagai bentuk pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial dan politik. Dengan merangkum penderitaan sejarah dan masa kini, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perlunya perubahan dalam masyarakat untuk menciptakan kondisi yang lebih adil bagi semua orang.

Dengan demikian, puisi "Miskin Desa, Miskin Kota" bukan hanya sekadar puisi yang menggambarkan penderitaan, tetapi juga sebuah panggilan untuk tindakan dan perubahan. Puisi ini mengingatkan kita akan ketidakadilan yang masih ada di masyarakat kita dan menuntut tanggapan yang proaktif untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua orang.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Miskin Desa, Miskin Kota
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.