Puisi: Surabaya (Karya Agam Wispi)

Puisi "Surabaya" karya Agam Wispi mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai keberanian, perjuangan, dan keadilan dalam kehidupan sosial dan ...
Surabaya

Tiap kita jumpa
Surabaya
aku selalu remaja
gembira kepada kerja
pasti kepada harapan
Surabaya
laut dan kota
rata
Surabaya bau keringat
bau kerja
ketegarannya harum semerbak
dan malamnya malam bercinta
deritanya
terisak-isak
dalam dengus napas
darah bergelora
cemara bersiut
meliut semampai
wilo merunduk
merenung sungai
besok ke laut
dia akan sampai
Tapi ini!
Malam pelaut
buih hidup
Yang menggapai!
Surabaya
lebih remaja
dalam bantingan usia
Kucinta Surabaya
sebab dia kota kelasi
kurindukan Surabaya
sebab trem berlari-lari
(Djakarta? Term diganti impala!)
kusukai Surabaya
sebab beca dan taman
di tepi kali
kubanggakan Surabaya
sebab dia kota berani
kusenangi Surabaya
sebab kejantanan bernyanyi
kepahlawanan bergolak
dari kancah-kancah yang menggelegak
dan tahun-tahun kenangan
yang diwariskan
mogok pertama
buruh kereta api
zeven provincien
buruh pelabuhan dan pelaut
bersatu hari
disiram hujan peluru
dan dencing belenggu
rantai besi, bendera pertama
internasionalisme proletar
dipancangkan
proklamasi? Sitiga-warna diturunkan
dan dalam pelukan sang saka
dipanjatkan ke puncak perlawanan
kemudian
di antara serpihan bom
yang mengoyak
dan kota yang terbakar
terbakarlah semangat pertempuran
nyalanya
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
nyalanya panas menempa
baca kemerdekaan
baca kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanya
pilih nyala atau pilih bacanya?
dan kita merebut
kedua-duanya!
Jauh mengatasi segala
pekik pilu dan jerit sendu
ratapan kehilangan dan erang kesakitan
adalah bagai ibu yang melahirkan bayi
yang kemudian memeluk dan menyusui
serta mengusap-usapnya dengan kesayangan kebahagiaan
di situ Hari Pahlawan
dilahirkan
KKO pesiar
menunggu trotoar
kelasi-kelasi
melambaikan dasi
yang bernama “kesenangan” memperpanjang umurnya
maka itu jadi terlambat
tapi bus dan truk tidak menunggu
ayo, pulang jalan kaki!
cinta sudah ketinggalan
ditembok-tembok kota
o, ketika kapal merapat lego jangkar
pelabuhan mengulurkan tangannya
dan lampu kota mengerdipkan matanya
dan bus-bus kadet menderu
megah
dan di tunjungan si kadet melangkah
gagah
putih-putih
dan gadisnya dua
yang satu pedang yang satu wanita
dan si gadis punya mata kecut pelita
dan si pedang punya mata gelegak darah mudah
si kadet jua permata dari lautan
bukan main!
namun adakah permata berkilau
tanpa sebersit cahya mencekau?
Dan tiadalah angkatan perang
tak bertulang-punggung
kukuh
merekalah
kelasi dan prajurit
darat laut udara
polisi
milisia dari rakyat pekerja
tangan-tangan baja yang keras menghentam
tidak perduli bom nuklir
tapi tangan!
Tangan yang menentukan 
yang menghayunkan pedang kemenangan
selama di jantungnya
debur-mendebur
gelora revolusi
mengabdi rakyat pekerja
sokoguru
buruh
tani
matahari tenggelam
di jembatan wonokromo
Surabaya berdandan
bagi malam berdesau
cemara
cadar kota
yang disingkapkan
Surabaya
napas merdeka
yang dipertaruhkan
pahlawan-pahlawan lahir
pada jamannya dan diukur
oleh pengabdiannya
kepada rakyat
dan hari depannya
jaman lampau pun berlalu
jaman baru datang
melahirkan pahlawan baru
namun pahlawan sebenarnya
hanya tumbuh dalam lumpur dan debu
pembesar-pembesar boleh bermatian
orang-orang besar boleh berlahiran
tenaga segar dari kepahlawanan
juga sekarang
jika muda-mudi berperasaan
merasakan hidup sampai ke tulang-sumsumnya
dan yang tua-tua teguh
membatu karang oleh hempasan gelora
merekalah orangnya
dan kebanyakannya
tak bernama
merekalah petani yang dirampas tanahnya
kembali merebutnya dari setan-setan desa
mereka yang berjuang membebaskan dirinya
dari belenggu perbudakan tanah
dan buruh-buruh pelabuhan buruh pabrik
yang beruntun-runtun pagi hari
berkilat-kilat oleh keringat
dan hitam oleh matahari
pengangkut pasir yang menunggu
perahu menghanyut ke gunung sari
beca yang berkerumun di lubuk jalan-raya
KKO - kelasi - prajurit
yang ingat kepada asalnya
pegawai-pegawai yang sadar kepada kelasnya
(bukan pemabok “karyawan yang mengingkari “makan-gaji”)
si miskin-kota yang kehilangan desanya
dan mengisi sudut-sudut gelap kota
dengan kerdap-kerdip pelita
petani-petani yang dirampok panennya
dan tepat menghijaukan bumi, memerahkan tanah
pemuda pelajar mahasiswa yang membakar buku USIS
dan mengusir setan-setan ilmu dari amerika imperialis
untuk mematahkan belenggu kebodohan
racun kemerdekaan yang berbungkus kenikmatan hampa
dan Surabaya
berderap dalam tempik-sorak
meski bau tengik dan sarang malaria
sama banyak nyamuk dan lalat dimana saja
tunggu! Suatu hari pernyataan perang
juga kepadamu!
Di sini ketegaran berkata sederhana
keras dan langsung ke hulu-hatimu
yang sudah mati, ya sudah!
yang hidup sekarang, menyiapkan revolusi
dimana masing-masing beri janji
merdeka atau mati!
Bagi keringat kaum buruh
bagi tanah-tanah petani
bagi kepercayaan kepada harapan
MANUSIA
Ya, sekarang kita bertanya
Sudahkah tanah bagi petani?
Sudahkah keringat bagi kaum buruh?
Yang sudah – sedikit!
Yang belum – banyak!
Menteri-menteri tetaplah turun naik
yang belum, kepingin jadi menteri
yang jelek, tak mau turun
yang baik, masih di podium
dan rakyat tetap menuntut: kabinet nasakom!
dan kabir-kabir main sunglap dengan peluru, uang, dan senyum
dengan tuan-tanah dan imperialis?
Seketurunan! Satu meja-makan dan sama-sama minum dan pemimpin-pemimpin munafik menghamburkan budi ikut berteriak “ganyang Malaysia! Berdiri di atas kaki sendiri!”
Kemak-kemik pancasila, manipol, jarek, sukarnoisme
tapi main mata dengan modal monopoli
gudang racun komunisto-phobi
buruh phobi
tani phobi
partai phobi
imperialisme amerika? Tunggu dulu!
dan sarjana-sarjana membalik-balik bukunya
tapi tak mengenal aspirasi tanah-airnya sendiri 
dan seniman memabukkan diri dengan kepuasan murah
tak tahu kemelaratan dan kebangkitan rakyatnya sendiri
dan politikus mencatut teori dengan “ala indonesia”
munafik-munafik ini mau melupakan sumbangan dunia
kepada sejarah dan perjuangan kelas
sungguh, kekerdilan yang memalukan dan hina
adalah mereka yang mau menutup laut dengan telapak tangannya
laut daripada kebenaran perjuangan kelas
O, sudahkah keringat bagi kaum buruh?
Sudahkah tanah bagi kaum tani?
Yang menggarap!
Y
ang menggarap!
Y
ang menggarap!
betapa berbelit-belit
plintat-plintut
tapi adakah yang lebih tegas dari kebenaran?
Sebab dia tak dapat digeser dari relnya revolusi?
Abad-abad telah menyumbangkan lokomotif-lokomotif raksasa
yang menderu kencang menembus belantara kegelapan
dengan perjuangan kelas dan revolusi
dengan marx, engels, dan lenin
dengan mau tje-tung, bung karno, dan aidit
dengan diri sendiri; rakyat tertindas
antara Sabang dan Sukarnapura
di seluruh dunia dimana saja
O, janganlah hanya membaca huruf-huruf
tapi tak menangkap hakekat dan arti
O, janganlah sungai lupa kepada laut
dan kemerdekaan tinggal abu tanpa api
sebab kami
Surabaya
sudah banyak mati
Sebab kepahlawanan sehari-hari
tidak pada yang sudah mati
berkata pemimpin besar revolusi
jaman ini jaman konfrontasi
pemimpin tengahan bicara lain lagi
katanya: perdamaian universil dan konsepsi
dan perdamaian jadilah dewi kecantikan
dan pedang kemerdekaan ditumpulkan
Maka konsepsi pun berlahiran di atas kertas
dan kertas-kertas berhamburan secepat inflasi
mereka yang bekerja dilaparkan oleh janji
mereka yang malas berpikir tanpa batas
Yang tak tahu ekonomi politik
mau bikin ekonomi politik
maka begitu naik jadi menteri
harga beras melambung tinggi
maka berkatalah rakyat suatu hari
bisa sekarang bisa nanti
Stop!
Mau konsepsi apa lagi?
Kami sudah banting kemudi ke UUD 45
Kami sudah bikin manipol dan nasakom
land reform dan dekon
ayo, konfrontasi
melawan tujuh setan-desa
imperialis amerika
atau 
sebelum roda ini melindas
minggir!
Kami mau revolusi
kami mau buku dan pedang ditangan
kami mau tanah dan bedil dibidikkan
kami mau palu dan meriam didentumkan
kami mau pukat dan kapal-selam berkeliaran
kami mau Indonesia dan rakyatnya yang gesit berlawan
bagi revolusinya dan bagi dunianya
bagi dunia dan bagi revolusinya
Dan Surabaya
senantiasa remaja
dalam bantingan usia
berjuang
belajar
kerja
Kucinta surabaya
dia kota kelasi
kurindukan Surabaya
sebab trem berlari-lari
Kusukai 
Surabaya
beca dan taman ditepi kali
kubanggakan 
Surabaya
kota berani mati
kusenangi 
Surabaya
kejantanan yang bernyanyi
Surabaya
menghadang pukulan
menghantam
bertubi-tubi
di sini cemara bersiut
meliuk semampai
dan wilo merunduk
merenung sungai
kelasi, jika besok ke laut
jangan lupa kepada pantai.

Sumber: Gugur Merah (2008)

Catatan:

  • USIS adalah United States Information Service, aparatus propagandanya Amerika Serikat untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya ke negara-negara asing.
  • Puisi ini telah kami edit dari Ejaan Lama ke Ejaan Baru. Judul lama dari puisi ini adalah Soerabaja, telah kami edit menjadi 
    Surabaya.
Analisis Puisi:

Puisi "Surabaya" karya Agam Wispi adalah sebuah penghormatan terhadap kota Surabaya dan semangat perjuangan yang tercermin dalam sejarahnya.

Gambaran Kota Surabaya: Puisi ini membawa pembaca dalam sebuah perjalanan melalui gambaran Surabaya yang hidup dan bersemangat. Surabaya digambarkan sebagai kota yang berani, penuh dengan cemara bersiut dan wilayah yang merenungkan sungai.

Sejarah dan Kepahlawanan: Puisi ini merujuk pada sejarah perjuangan Surabaya, terutama dalam konteks perjuangan melawan penjajahan dan ketidakadilan. Ada penghargaan terhadap peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah, seperti mogok buruh, perlawanan terhadap imperialisme, dan momen-momen penting dalam perjuangan kemerdekaan.

Semangat Revolusi: Puisi ini mencerminkan semangat revolusi yang masih hidup di Surabaya. Ada penekanan pada pentingnya perjuangan terus-menerus untuk kebebasan dan keadilan. Surabaya diibaratkan sebagai pusat kekuatan revolusi, di mana semangat perlawanan terhadap ketidakadilan terus berkobar.

Kritik Sosial dan Politik: Melalui puisi ini, Agam Wispi menyampaikan kritik sosial dan politik terhadap ketidakadilan yang masih ada di masyarakat. Ada ungkapan kekecewaan terhadap pemimpin yang tidak mampu memenuhi janji-janji mereka kepada rakyat, serta terhadap kesenjangan sosial dan ekonomi yang masih ada.

Cinta dan Keprihatinan: Meskipun puisi ini penuh dengan semangat perjuangan dan kritik sosial, ada juga ungkapan cinta dan kekaguman terhadap Surabaya. Wispi menunjukkan bahwa cinta terhadap kota tidak hanya berasal dari keindahannya, tetapi juga dari semangat perjuangan dan keberanian penduduknya.

Bahasa dan Gaya Penulisan: Agam Wispi menggunakan bahasa yang kaya dan gamblang untuk menggambarkan suasana dan semangat Surabaya. Gaya penulisannya yang puitis dan memikat berhasil menarik perhatian pembaca serta membuat mereka terhanyut dalam suasana puisi.

Puisi "Surabaya" karya Agam Wispi adalah sebuah penghormatan yang kuat terhadap kota Surabaya dan semangat perjuangan yang diwujudkan oleh penduduknya. Melalui penggambaran yang hidup dan semangat revolusi yang menyala, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai keberanian, perjuangan, dan keadilan dalam kehidupan sosial dan politik.

Puisi: Surabaya
Puisi: Surabaya
Karya: Agam Wispi
© Sepenuhnya. All rights reserved.