Puisi: Kita Tidak Sedang Menunggu (Karya Beni Setia)

Puisi "Kita Tidak Sedang Menunggu" karya Beni Setia mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya menggantikan batasan dan konflik dengan ...
Kita Tidak Sedang Menunggu

Kita tidak sedang menunggu. Lepas dari kefanaan
dan meluncur masuk keabadian. Meski mungkin
akan tetap menderita. Senantiasa, di sini,
dalam kekal. Kita tidak hidup
dalam waktu. Kita tidak dipertemukan
oleh umur oleh waktu. Oleh saat yang sama
di sini di dunia. Kita diikat ruang
dan jarak. Keterkurungan
dan keterpencilan
dan lambaian
kebersamaan.

Mari kita rubuhkan benteng, mari kita bakar
pagar-pagar. Jalan-jalan berentangan, membentang
hingga seluruh hamparan senantiasa bermula
dari manusia dan berakhir pada manusia
dan berjuluran ajakan dan berjuluran
keakraban. Mari kita melabur dinding
dengan warna kuning gading
dengan warna hijau muda. Dan bukan
warna merah, atau putih, atau hitam!
Mengubur kunci dan grendel. Melebur besi
dan menjadikannya genta
kumandang bening
dentang kasih
setiap saat.

Senantiasa tersenyum. Senantiasa menyapa
dan mengajak singgah. Menunjuk istirah
dan membicarakan pekerjaan
bersama demi kebersamaan
bersama-sama.

1987

Analisis Puisi:
Puisi "Kita Tidak Sedang Menunggu" karya Beni Setia adalah sebuah karya sastra yang menghadirkan refleksi tentang kehidupan, keabadian, kebebasan, dan kebersamaan. Dalam puisi ini, Setia menyajikan sebuah gambaran tentang kebebasan dari keterbatasan dan panggilan untuk kebersamaan yang lebih dalam.

Kebebasan dari Keterbatasan: Di bait pertama, Setia mengeksplorasi konsep kebebasan dari keterbatasan waktu dan kefanaan. Dalam pandangan Setia, manusia tidak terikat pada waktu atau umur; mereka meluncur masuk ke dalam keabadian meskipun mungkin akan tetap menderita. Puisi ini menawarkan pandangan bahwa kehidupan manusia melampaui batasan-batasan waktu dan ruang.

Panggilan untuk Kebangkitan dan Kebersamaan: Di bait kedua, Setia mengajak untuk merobohkan benteng-benteng dan menghapus batas-batas yang memisahkan manusia. Dia menyerukan untuk menggantikan pembatas dengan jalan-jalan yang membawa pada keakraban dan kebersamaan. Setia menekankan pentingnya solidaritas dan kerjasama dalam membangun hubungan yang harmonis di antara manusia.

Penggambaran Warna sebagai Simbol: Penggunaan warna dalam bait ketiga menjadi simbol keberagaman dan kesatuan. Warna kuning gading dan hijau muda mewakili keindahan dan kehidupan yang cerah, sementara merah, putih, dan hitam mungkin melambangkan konflik, ketegangan, atau perbedaan. Melalui pemilihan warna, Setia menekankan pentingnya harmoni, perdamaian, dan kebersamaan di antara umat manusia.

Keharmonisan dan Kebahagiaan: Bait terakhir menekankan pentingnya tersenyum, menyapa, dan berbagi dengan sesama. Setia menggambarkan pentingnya interaksi manusia yang penuh dengan kebaikan, kepedulian, dan kasih sayang. Puisi ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dan keberhasilan sejati terletak dalam hubungan yang harmonis dan kerjasama antara individu-individu.

Puisi "Kita Tidak Sedang Menunggu" karya Beni Setia adalah sebuah refleksi tentang kebebasan, kebersamaan, dan keharmonisan dalam kehidupan manusia. Melalui penggunaan bahasa yang padat dan imajinatif, Setia mengeksplorasi konsep kebebasan dari keterbatasan dan panggilan untuk kebersamaan yang lebih dalam di antara umat manusia. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya menggantikan batasan dan konflik dengan perdamaian, harmoni, dan kasih sayang di dalam hubungan antarmanusia.

Beni Setia
Puisi: Kita Tidak Sedang Menunggu
Karya: Beni Setia

Biodata Beni Setia:
  • Beni Setia lahir pada tanggal 1 Januari 1954 di Soreang, Bandung Selatan, Jawa Barat, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.