Puisi: Diskusi Sajak (Karya Lasinta Ari Nendra Wibawa)

Puisi "Diskusi Sajak" mengajak pembaca untuk merenung tentang tantangan dan dinamika dalam menciptakan dan menjaga kehidupan sastra di tengah ...
Diskusi Sajak
(Putri Hati Ningsih)


Diskusi ini masih bergairah dan membara. Saat teman-teman kian
deras melempar tanya, tentang ragam menu sajak yang paling disuka.
Serta bagaimana resep memasaknya agar terasa lezat di lidah para
pembaca, bukan malah basi ditelan masa.

Kurasa kota ini cukup memberi warna, bagi pohon sajak yang
mulai tumbuh dan berbunga. Berulang kali waktu menyiramnya.
Meski sebagian masih sembunyi dari paparan cahaya, lupa ritual
fotosintesa. Sementara tanah yang diduduki mulai kehilangan hara,
pupuk menjadi semacam komoditas paling langka. Yang tak semua
pemangku kota berbaik hati mengurusnya, apalagi memberi subsidi
penekan harga. Mungkin sajak serupa tahanan kota, yang dipenjara
arus pop yang berulang diputar di radio, layar kaca, dan ballroom
hotel bintang lima. Hingga sajak kini mesti rela meringkuk dalam
dokumentasi sederhana, di gedung-gedung tua di sudut kota.
Terasing dan terlupa.


Surakarta, 3 April 2011

Analisis Puisi:
Puisi memiliki keajaiban untuk merefleksikan realitas kehidupan dan menyelami dinamika budaya. "Diskusi Sajak" karya Lasinta Ari Nendra Wibawa adalah sebuah karya yang mengundang kita untuk merenungi nasib sajak di tengah kehidupan urban yang sibuk.

Konteks Diskusi Sajak: Puisi dimulai dengan gambaran diskusi yang masih bergairah tentang sajak. Teman-teman yang melemparkan pertanyaan tentang ragam menu sajak menunjukkan keberagaman dan semangat dalam dunia sastra. Pertanyaan tentang resep memasak sajak agar lezat di lidah pembaca menggambarkan keinginan untuk menciptakan karya yang dapat dinikmati oleh banyak orang.

Metafora Kota dan Pohon Sajak: Penggunaan metafora kota sebagai tempat bagi pohon sajak memberikan gambaran tentang bagaimana kota memberi warna pada dunia sastra. Pohon sajak yang tumbuh dan berbunga menggambarkan keragaman dan kehidupan sastra di tengah-tengah kehidupan urban. Namun, metafora ini juga membawa nuansa kekhawatiran terhadap pengaruh modernitas yang mungkin mengorbankan keaslian dan substansi karya sastra.

Waktu dan Ritual Fotosintesa: Waktu yang berulang kali menyiram pohon sajak menciptakan gambaran tentang upaya berkesinambungan untuk mengembangkan dan memelihara karya sastra. Ritual fotosintesa yang terlupa mengindikasikan bahwa terkadang, dalam keberagaman tuntutan dan kehidupan yang sibuk, penciptaan sajak bisa terabaikan dan kehilangan maknanya.

Kota yang Kehilangan Hara: Penyair menggambarkan tanah yang diduduki pohon sajak kehilangan hara, mengisyaratkan bahwa kehidupan urban yang terus berkembang dapat merusak dan mengaburkan nilai-nilai sastra. Pupuk yang menjadi langka mencerminkan kurangnya perhatian dan dukungan terhadap seni sastra, terutama dalam menghadapi tantangan zaman.

Sajak sebagai Tahanan Kota: Pernyataan bahwa sajak serupa tahanan kota menciptakan citra ketidakbebasan kreativitas sastrawan. Pengaruh arus pop dan dominasi media masa membuat sajak terpenjara dalam pola yang sama, terputar di radio, layar kaca, dan ballroom hotel mewah. Sajak kemudian terasing dan terlupa dalam dokumentasi sederhana di gedung-gedung tua di sudut kota.

Puisi "Diskusi Sajak" bukan hanya sekadar puisi, melainkan refleksi mendalam tentang perjalanan sajak dalam konteks kehidupan urban yang terus berubah. Lasinta Ari Nendra Wibawa mengajak pembaca untuk merenung tentang tantangan dan dinamika dalam menciptakan dan menjaga kehidupan sastra di tengah keseharian yang sibuk dan terus berubah. Puisi ini memberikan suara pada sajak yang mungkin terlupakan, menjadi catatan yang mengundang kita untuk mempertimbangkan kembali nilai seni dan keindahan dalam kehidupan sehari-hari.

"Puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa"
Puisi: Diskusi Sajak
Karya: Lasinta Ari Nendra Wibawa
© Sepenuhnya. All rights reserved.