Puisi: Semu (Karya Nirwan Dewanto)

Puisi "Semu" karya Nirwan Dewanto adalah sebuah karya yang mencerminkan kompleksitas dan kecanggihan dalam penggunaan bahasa serta citra.
Semu

Puisiku hijau
seperti kulit limau
Kupaslah, kupaslah
dengan tangan yang lelah
temukan daging kata
bulat sempurna, merah jingga
terpiuh oleh laparmu
Junjunglah urat kata dengan lidahmu
sampai menetes darah kata
manis atau masam
atau dendam yang lama terpendam
melukaimu ingin
kecuali jika
lidahmu hampa seperti angin.

Puisiku putih kabur
seperti cangkang telur
Pecahkanlah, pecahkanlah
dengan tangan yang hampir alah
temukan cairan kata
meradang, bening sempurna
tak berinti
mampu mengalir ke seluruh bumi
Tapi kau mencari jantung kata
kuning yang kau anggap milikmu
dan pernah nyala di lidah ibumu.

Maafkan aku
tak bisa kuceritakan diriku
dengarlah, cangkang telur atau kulit limau
hanya samaranku.

Aku sayap kata
terbang sendiri, birahi sendiri
hingga hancur aku
kau tak bisa menjangkauku
jika pun kau seluas langit lazuardi
sebab kata sesungguh kata
tak bisa mengena
jika kau masih juga
separuh membaca
separuh buta.

2005

Sumber: Jantung Lebah Ratu (2008)

Analisis Puisi:

Puisi "Semu" karya Nirwan Dewanto adalah sebuah karya yang mencerminkan kompleksitas dan kecanggihan dalam penggunaan bahasa serta citra.

Metafora Kulit Limau dan Cangkang Telur: Penyair menggunakan metafora kulit limau dan cangkang telur untuk menggambarkan keberagaman bentuk puisi. Kulit limau mewakili puisi yang hijau, seperti kulit limau yang perlu dikupas untuk menemukan esensi kata-kata yang tersembunyi di dalamnya. Di sisi lain, cangkang telur melambangkan puisi yang putih dan kabur, seperti cangkang telur yang hampir transparan, tidak berinti, dan tidak memberikan kedalaman makna.

Tantangan dalam Menemukan Makna: Penyair menyampaikan bahwa menemukan makna sejati dalam puisi bukanlah tugas yang mudah. Pembaca dihadapkan pada perjuangan untuk memahami esensi dari setiap kata, dan untuk melampaui penampilan yang hanya sebatas permukaan. Ada sebuah permintaan maaf yang tersirat dalam puisi, karena makna sejati dari puisi ini sulit untuk diceritakan atau diungkapkan.

Identitas dan Kecanggihan Bahasa: Penyair mengeksplorasi identitas dan eksistensi puisi melalui perumpamaan "sayap kata". Puisi dipersepsikan sebagai entitas yang hidup, memiliki kebebasan untuk terbang dan mengalami kehancuran sendiri. Bahasa dalam puisi ini dipandang sebagai alat yang kuat untuk mengungkapkan emosi, birahi, dan pemikiran yang kompleks.

Batasan Pembaca: Penyair menunjukkan bahwa bahkan jika pembaca memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, mereka mungkin tetap tidak dapat memahami sepenuhnya makna sebuah puisi. Pembaca dihadapkan pada tantangan untuk membaca dengan pemahaman yang mendalam, bukan hanya melalui kemampuan mereka untuk membaca kata-kata secara fisik.

Kesimpulan yang Reflektif: Puisi ini menggambarkan sebuah kesimpulan yang reflektif tentang batasan dalam pemahaman dan interpretasi, baik dari sisi penyair maupun pembaca. Ada pengakuan akan kompleksitas manusia dan kemungkinan ketidaksempurnaan dalam proses komunikasi.

Dengan demikian, puisi "Semu" merupakan sebuah refleksi yang mendalam tentang kompleksitas dalam proses pembacaan dan penciptaan puisi, serta tantangan dalam menafsirkan makna dan esensi dari karya sastra.

Nirwan Dewanto
Puisi: Semu
Karya: Nirwan Dewanto

Biodata Nirwan Dewanto:
  • Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.