Puisi: Tolong Pak Presiden Baru (Karya Putu Oka Sukanta)

Puisi "Tolong Pak Presiden Baru" bukan hanya sekadar kritik terhadap pemerintah, tetapi juga merupakan seruan untuk keadilan, kesetaraan, dan ....
Tolong Pak Presiden Baru

Tolong hati-hati membawa pantat
jangan sampai basah kebanyakan dijilat.

Tolong hati-hati membeli kacamata
jangan salah pilih kacamata kuda.

Tolong sering-sering memeriksakan gigi
jangan sampai taring memanjang sendiri.

Tolong buatkan instruksi khusus
agar wajib memasang perangkap tikus
di tempat kerja dan di dalam dada.

Tolong wajibkan setiap pagi senam kepala
menengok ke kiri kanan, ke belakang ke muka
ke atas dan ke bawah, bagi orang kaya
tidak terkecuali polisi, politikus dan tentara.

Tolong Pak Presiden Baru ingatkan para lelaki
jangan lupa diri
agar ingat neneknya perempuan
agar ingat ibunya perempuan
agar ingat istrinya perempuan
agar ingat pacarnya perempuan
agar ingat punya anak perempuan
(maaf temanku yang gay, dan yang lesbian
ini simbol, bukan hanya perkelaminan)
kan kita tak akan ada kalau mereka binasa.

Ah belum apa-apa terlalu banyak aku minta tolong
maksudku baik, agar jangan melupakan orang minta tolong
atau hanya dianggap anjing melolong.

Sekali lagi, aku minta tolong
jangan banyak berucap lho
masih banyak aturan diskriminatif lho
menjadikan aku tetap tahanan lho
tolong jangan tinggal lho
'palagi hanya berucap lho.

Tabik Pak Presiden Baru
aku akan sering kirim puisi
tolong jangan dibalas dengan mengirim polisi.

Jakarta, September 2004

Sumber: Surat Bunga dari Ubud (2008)

Analisis Puisi:
Puisi "Tolong Pak Presiden Baru" karya Putu Oka Sukanta merupakan karya sastra yang memuat satir kritis terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia.

Istilah Tolong sebagai Bentuk Ironi: Penyair menggunakan kata "tolong" sebagai ungkapan ironi. Meskipun terdengar sebagai permohonan bantuan yang sederhana, kata tersebut menyiratkan kebutuhan mendesak akan perubahan dan keadilan.

Metafora dalam Instruksi Khusus: Instruksi-instruksi seperti memasang perangkap tikus di tempat kerja dan dalam dada menciptakan metafora terhadap korupsi dan perilaku tidak etis. Ini mencerminkan keprihatinan terhadap keadaan pemerintahan yang tidak transparan.

Senam Kepala sebagai Metafora Kepemimpinan: Seruan untuk senam kepala, terutama bagi orang kaya, polisi, politikus, dan tentara, menyoroti pentingnya kepemimpinan yang cerdas dan waspada. Senam kepala menjadi metafora untuk kewaspadaan dan kepekaan terhadap kondisi sekitar.

Pesan Kesetaraan Gender: Bagian yang mengingatkan lelaki agar tidak lupa diri dan menghormati perempuan adalah bentuk pesan kesetaraan gender. Penyair menekankan pentingnya menghargai peran perempuan dalam kehidupan.

Simbolisme dalam Kalimat Terakhir: Kalimat terakhir menciptakan simbolisme yang kuat. Penyair menyampaikan bahwa dirinya akan terus menyuarakan pikiran dan perasaannya melalui puisi, tetapi berharap agar tidak dibalas dengan tindakan represif atau intimidasi, yang seringkali dialami oleh penulis kritis di masa lalu.

Kritik Terhadap Ketidakadilan dan Diskriminasi: Puisi ini menggambarkan ketidakpuasan terhadap aturan diskriminatif dan ketidakadilan sosial. Satirnya mencakup beragam isu, termasuk korupsi, kewajiban pemerintah, dan peran gender.

Gaya Bahasa Satir dan Humor: Putu Oka Sukanta menggunakan gaya bahasa satir dan humor untuk menyampaikan kritiknya. Dengan cara ini, puisi menjadi lebih mudah dicerna oleh pembaca, sambil tetap menyampaikan pesan kritis yang mendalam.

Puisi "Tolong Pak Presiden Baru" bukan hanya sekadar kritik terhadap pemerintah, tetapi juga merupakan seruan untuk keadilan, kesetaraan, dan perubahan. Putu Oka Sukanta dengan cermat menggunakan kata-kata yang sederhana namun mempunyai makna mendalam untuk menyampaikan aspirasinya terhadap tata nilai dan tatanan sosial di Indonesia.

Puisi Putu Oka Sukanta
Puisi: Tolong Pak Presiden Baru
Karya: Putu Oka Sukanta
© Sepenuhnya. All rights reserved.