Puisi: Permata (Karya Remy Sylado)

Puisi "Permata" karya Remy Sylado menyuguhkan analisis tajam terhadap sejarah, ketidaksetaraan sosial, dan pandangan hidup. Dengan kata-kata yang ...
Permata

Seperti permata yang digosok dari cuma batu
kita tahu kemerdekaan adalah kemewahan
dari keringat duka bercampur luh
menumpahi persediaan rasa sabar

Warna kulit dan tambo silsilah, memang
gampang mempermainkan krama nasib
dan kita senang mengingat-ingat borok
itu Daendels atau Jan Pieterzoon Coen
zonder menghukum cakal-bakal kita sendiri
yang menjual tanah mereka kepada si Belanda
hingga kita dikirakan keledai selama berabad.

Jika kita terbelusuk dalam pemiskinan, kini
lihat, masih ada kemelaratan di tetangga
terhibur kita dengan melihat ke bawah.

Pandang semua masalah selaku pelukis
menghadapi kanvas-kanvas kosongnya
dan lukis dengan visi penyerahan
sebab apa untung dibius rasa bersaing
toh semua kematian cadangnya ketelanjangan.

Permata kita yang asli mesti kita bilang
ada di matinya kemauan-kemauan darah.


Analisis Puisi:
Puisi "Permata" karya Remy Sylado merangkum kerumitan sejarah dan realitas kehidupan bangsa Indonesia dalam rangkaian kata yang puitis.

Gaya Bahasa dan Indera Puisi: Puisi ini dipenuhi dengan gaya bahasa yang kaya, seperti perumpamaan "seperti permata yang digosok dari cuma batu." Pilihan kata-kata yang indah menciptakan pengalaman sensorik bagi pembaca, membuat mereka terlibat emosional dan menggambarkan realitas sejarah dan kehidupan.

Kemerdekaan sebagai Kemewahan: Puisi menggambarkan kemerdekaan sebagai kemewahan yang diperoleh dari keringat dan penderitaan. Ini merujuk pada perjuangan dan pengorbanan para pahlawan serta rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan dari penjajahan.

Warna Kulit dan Tambo Silsilah: Puisi menyentuh isu-isu sosial dan budaya, khususnya seputar warna kulit dan silsilah keturunan. Hal ini mencerminkan realitas kompleks dan sering kali konflik dalam masyarakat terkait dengan keturunan dan diskriminasi.

Borok Sejarah dan Nama-Nama Penjajah: Penyebutan Daendels dan Jan Pieterzoon Coen sebagai tokoh-tokoh penjajah Belanda menyoroti borok-borok sejarah yang masih membekas. Puisi mencerminkan kebijakan penjajahan yang merugikan bagi bangsa Indonesia.

Kritik Terhadap Pemiskinan dan Kesenangan Melihat ke Bawah: Puisi mengkritik pandangan yang terhibur dengan melihat kemiskinan tetangga. Hal ini mencerminkan realitas ketidaksetaraan sosial dan kecenderungan untuk merasa puas dengan posisi sosial yang lebih tinggi, tanpa memberikan perhatian terhadap keadaan sesama.

Seni sebagai Medium Penyerahan: Puisi mendorong untuk melihat masalah-masalah dengan cara seorang pelukis menghadapi kanvas kosong. Seni dipandang sebagai medium penyerahan, di mana visi kehidupan dan keadilan dapat dilukis dengan imajinasi dan rasa empati.

Kemauan Darah dan Kematian: Puisi menyentuh tema kemauan darah dan kematian, mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai yang diperoleh dari keberanian dan pengorbanan. Kematian dipandang sebagai ketelanjangan yang melahirkan kehidupan baru.

Kesimpulan tentang Permata Kita: Puisi menyimpulkan bahwa permata sejati kita terletak pada matinya kemauan-kemauan darah. Ini menekankan pentingnya semangat perjuangan dan keberanian dalam mempertahankan kebebasan dan keadilan.

Puisi "Permata" karya Remy Sylado menyuguhkan analisis tajam terhadap sejarah, ketidaksetaraan sosial, dan pandangan hidup. Dengan kata-kata yang indah dan berwarna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai kemerdekaan dan keadilan dalam konteks kehidupan Indonesia.

Puisi Remy Sylado
Puisi: Permata
Karya: Remy Sylado
© Sepenuhnya. All rights reserved.