Puisi: Baju untuk Suatu Tradisi (Karya Remy Sylado)

Puisi "Baju untuk Suatu Tradisi" karya Remy Sylado menciptakan suatu pandangan kritis terhadap peran tradisi dan ritual, dengan menekankan ....
Baju untuk Suatu Tradisi


Aku tidak suka hiruk-pikuk
dalam tradisi baju di nafas persekutuan
Dan kerohanian adalah pahlawan yang kalah
basah seluruh tubuh oleh air mata
Padahal doa mesti berjalan sendiri
lebih dari sunyi penyair di depan puisi.

Aku merinding bukan di kuburan
tapi malah di gereja yang mentereng
di mana umatnya sepi karisma
melebihi nisan yang tak peduli badai.

Betapa cantik, kau, masa kanak
Aku pejam mata membiarkan rohku berangkat
ke hari-hari kemarin yang menyenangkan
di Semarang, kota dengan dua candi
Burung-burung bangau hinggap di Srondol
bagai salju yang temangsang di khatulistiwa
Perahu-perahu ditambat di Pir
menunggu sepasang kekasih menyatakan cinta
Dan Natal atau Paskah di Blenduk adalah pesta.

Kalau aku bisa balik ke rahim Ibu
aku ingin mengulang kelahiran
dan membuat tradisi baru bukan dalam baju
Kerna baju, Adam dan Hawa jatuh.


Analisis Puisi:
Puisi "Baju untuk Suatu Tradisi" karya Remy Sylado menciptakan suatu pandangan kritis terhadap peran tradisi dan ritual, dengan menekankan ketidaknyamanan pribadi penyair terhadap hiruk-pikuk dan kerohanian yang sering terjadi dalam upacara.

Penolakan terhadap Hiruk-Pikuk Tradisi: Puisi dibuka dengan pernyataan kuat, "Aku tidak suka hiruk-pikuk dalam tradisi baju di nafas persekutuan." Penyair menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap keramaian dan detail yang sering menyertai tradisi, terutama yang berkaitan dengan pakaian.

Kehadiran Kerohanian yang Dikalahkan: Penyair mengekspresikan pandangannya bahwa dalam tradisi tertentu, aspek kerohanian atau spiritual seringkali kalah atau kehilangan makna karena hiruk-pikuk dan kebisingan yang mengelilinginya. Hal ini tercermin dalam baris, "kerohanian adalah pahlawan yang kalah."

Doa yang Terhenti: Puisi mencela kondisi di mana doa harus "berjalan sendiri" tanpa partisipasi atau perhatian yang seharusnya. Ini menciptakan gambaran kekosongan atau kurangnya kedalaman spiritual dalam pelaksanaan tradisi tertentu.

Rasa Merinding di Gereja yang Sepi: Gambaran gereja yang mentereng namun sepi dari karisma menyoroti kekosongan spiritual dan perasaan yang tidak memuaskan di tengah tradisi keagamaan.

Rindu akan Masa Kanak-Kanak yang Menyenangkan: Penyair mengungkapkan rasa rindu terhadap masa kanak-kanak di Semarang, di mana kehidupan dihiasi dengan keindahan alam dan tradisi yang menyenangkan. Ini menciptakan kontras antara kebebasan masa kanak dan kerumitan tradisi saat ini.

Penggambaran Semarang dan Candi: Semarang digambarkan sebagai kota dengan dua candi, menekankan warisan sejarah dan keindahan budayanya. Imaji burung bangau dan perahu di Sungai Ciliwung menambahkan dimensi estetika pada gambaran tersebut.

Kritik terhadap Baju dan Adam-Hawa: Puisi menyampaikan kritik terhadap baju sebagai simbol tradisi yang membebani, dengan menyebut bahwa Adam dan Hawa jatuh karena baju. Ini dapat diartikan sebagai keinginan penyair untuk membebaskan diri dari kungkungan tradisi dan menciptakan sesuatu yang baru.

Keinginan untuk Menciptakan Tradisi Baru: Penyair menyatakan keinginan untuk "membuat tradisi baru bukan dalam baju." Hal ini mencerminkan dorongan untuk keluar dari norma-norma yang ada dan menciptakan sesuatu yang lebih personal, bebas, dan membangkitkan semangat baru.

Melalui puisi ini, Remy Sylado menyajikan pandangan kritisnya terhadap tradisi yang seringkali menjadi rutinitas tanpa makna dan merayakan keinginan untuk meresapi kembali kebebasan dan keindahan masa kanak-kanak.

Puisi: Baju untuk Suatu Tradisi
Puisi: Baju untuk Suatu Tradisi
Karya: Remy Sylado
© Sepenuhnya. All rights reserved.